BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kelahiran
seorang bayi merupakan saat yang membahagiakan orang tua, terutama bayi yang
sehat. Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa melalui proses yang
panjang, dengan tidak mengesampingkan factor lingkungan keluarga. Terpenuhinya
kebutuhan dasar anak (asah-asih-asuh)oleh keluarga akan memberi lingkungan yang
terbaik bagi anak, sehingga tumbuh kembang anak menjadi seoptimal mungkin.
Tetapi tidak semua bayi lahir dalam keadaan sehat. Beberapa bayi lahir dengan
gangguan pada masa prenatal, natal, pascanatal. Keadaan ini akan member
pengaruh bagi tumbun kembang selanjutnya. Seperti mengalami salah satunya
trauma pada fleksus brachialis dan masi banyak lagi gangguan yang tidak normal
pada bayi.
Asuhan
neonates dengan jejas ( trauma) persalinan sangat berpengaruh terhadap trauma
pada kelahiran. Trauma lahir adalah trauma mekanis yang disebabkan karena
persalinan/kelahiran. Pengertian yang lain tentang trauma lahir adalah trauma
pada bayi yang diterima dalam atau karenaproses kelahiran. Istilah
trauma digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat
dihindarikan maupun yang dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa
persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat keterampilan atau
perhatian medic yang tidak pantas atau tidak memadai sama sekali,
atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil
dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang
tua yang acuh tak acuh.
Insidensi
trauma pada kelahiran diperkirakan sebesar 2-7 per 1000 kelahiran hidup.
Walaupun insiden telah menurun pada tahun-tahun belakang ini, sebagian karena
kemajuan di bidang teknikdan penilaian obstektrik, trauma lahir masi merupakan
permasalahan pentiang, karena walaupun hanya trauma yang bersifat sementara
sering tampak nyata oleh orang tua dan menimbulkan cemas serta keraguan yang
memerlukan pembicaraan yang bersifat suportif dan informatif. Beberapa trauma
pada awalnya dapat bersifat laten, tetapi akan menimbulkan penyakit atau akibat
sisa yang berat. Trauma lahir merupakan salah satu factor penyebab utama
kematian perinatal. Di Indonesia angka kematian perinatal 44 per 1000 kelahiran
hidup dan 9,7% diantanya sebagai dari akibat dari trauma lahir.
Pada
saat persalina, perlukaan atau trauma persalinan kadang-kadang tidak dapat
dihindarkan dan lebih sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh
beberapa sebab. Penangan persalinan secara sempurna dapat mengurangi frekuensi
peristiwa trauma pada fleksus brachialis dan mengurangi juga jumlah kematian.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah asuhan neonatus dengan sefalofematoma?
2. Bagaimanakah asuhan neonates dengan
caput succedeum?
3. Bagaimanakah asuhan neonates dengan
fraktur humerus?
4. Bagaimanakah asuhan neonates dengan
fraktur clavicula?
5. Bagaimanakah asuhan neonates dengan
trauma pada fexus brachialis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui asuhan neonatus
dengan sefalofematoma?
2. Untuk mengetahui asuhan neonates
dengan caput succedeum?
3. Untuk mengetahui asuhan neonates
dengan fraktur humerus?
4. Untuk mengetahui asuhan neonates
dengan fraktur clavicula?
5. Untuk mengetahui asuhan neonates
dengan trauma pada fexus brachialis?
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. CEPHALHEMATOMA
1. Pengertian Cephalhematoma
Cephalhematoma adalah
subperiosteal akibat kerusakan jaringan periosteum karena tarikan atau tekanan
jalan lahir, dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Pemeriksaan
x-ray tengkorak dilakukan, bila dicurigai ada nya faktur (mendekati hampir 5%
dari seluruh cephalhematoma). Kelainan ini agak lama menghilang (1-3 bulan). Pada
gangguan yang luas dapat menimbulkan anemia dan hiperbilirubinemia.Perlu
pemantauan hemoglobin, hematokrik, dan bilirubin.Aspirasi darah dengan jarum
tidak perlu di lakukan. (Sarwono Prawirohardjo,2007).
Cephalhematoma adalah
pembengkakan pada daerah kepala yang disebabkan karena adanya penumpukan darah
akibat pendarahan pada subperiostinum.( Vivian
nanny lia dewi, 2010 )
2. Etiologi Cephalhematoma
Hematoma
dapat terjadi karena ( Menurut : Prawiraharjo, Sarwono. 2002. IlmuKebidanan ):
1. Persalinan lama
Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya
tekanan tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan
robeknya pembuluh darah.
2. Tarikan vakum atau cunam
Persalinan yang dibantu dengan vacuum atau cunam yang
kuat dapat menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang
melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.
3. Kelahiran
sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
3. Patofisiologi Cephalhematoma
1. Cephal hematoma terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang
melintasi tulang kepala ke jaringan poriosteum. Robeknya pembuluh darah ini
dapat terjadi pada persalinan lama. Akibat pembuluh darah ini timbul timbunan
darah di daerah sub periosteal yang dari luar terlihat benjolan.
2. Bagian kepala yang hematoma biasanya berwarna merah akibat adanya
penumpukan daerah yang perdarahan sub periosteum.
(
Menurut : FK. UNPAD. 1985. ObstetriFisiologiBandung )
4. Tanda dan Gejala
Cephalhematoma
Berikut ini adalah
tanda-tanda dan gejala Cephal hematoma:
Ø Adanya fluktuasi
Ø Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas
setelah 2 jam setelah bayi lahir
Ø Adanya chepal hematoma timbul di daerah tulang
parietal
Berupa benjolan timbunan kalsium dan sisa jaringan
fibrosa yang masih teraba.Sebagian benjolan keras sampai umur 1-2 tahun.
(
Menurut : Prawiraharjo, Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan )
Menurut
Vivian nanny lia dewi, 2010 :
Ø Kepala tampak
bengkak dan berwarna merah.
Ø Tampak benjolan
dengan batas yang tegas dan tidak melampaui tulang tengkorak
Ø Pada
perabaan terasa mula – mula keras kemudian menjadi lunak.
Ø Benjolan
tampak jelas lebih kurang 6 – 8 jam setelah lahir
Ø Benjolan
membesar pada hari kedua atau ketiga
Ø Benjolan
akan menghilang dalam beberapa minggu.
5. Komplikasi Cephalhematoma
Ø Ikterus
Ø Anemia
Ø Infeksi
Ø Klasifikasi mungkin bertahan selama > 1
tahun
Gejala lanjut yang mungkin
terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia. Kadang-kadang disertai dengan
fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan intra kranial.
6. Penatalaksanaan Cephalhematoma
Cephal
hematoma umumnya tidak memerlukan perawatan khusus. Biasanya akan mengalami
resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu tergantung dari besar kecilnya
benjolan. Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini akan agak lama
menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :
Ø Menjaga kebersihan luka
Ø Tidak boleh melakukan
massase luka/benjolan Cephal hematom
Ø Pemberian vitamin K
Ø Bayi dengan Cephal hematoma tidak boleh
langsung disusui oleh ibunya karena Pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah
yang mulai pulih.
(Menurut :
Manuaba. Ida Bagus Gede, 1998. Ilmu Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan)
B. CAPUT
SUCCEDANEUM
1. Defenisi Caput Succedaneum
Caput succedaneum adalah edema kulit kepala anak yang
terjadi karena tekanan dari jalan lahir kepada kepala anak. Atau pembengkakan
difus, kadang-kadang bersifat ekimotik atau edematosa, pada jaringan lunak
kulit kepala, yang mengenai bagian kepala terbawah, yang terjadi pada kelahiran
verteks. Karena tekanan ini vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi
hingga cairan masuk ke dalam jaringan longgar dibawah lingkaran tekanan dan
pada tempat yang terendah. Dan merupakan benjolan yang difus kepala, dan
melampaui sutura garis tengah. (Obstetri fisiologi, UNPAD.1985)
Caput succedaneum ini ditemukan biasanya pada presentasi
kepala, sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut
terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah. Caput
succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya menghilang setelah
2-5 hari.(Sarwono Prawiroharjo.2002)
Kejadian caput succedaneum pada bayi sendiri adalah benjolan
pada kepala bayi akibat tekanan uterus atau dinding vagina dan juga pada
persalinan dengan tindakan vakum ekstraksi.(Sarwono Prawiroharjo.2002)
2. Etiologi Caput Succedaneum
Banyak hal
yang menjadi penyebab terjadinya caput succedaneum pada bayi baru
lahir(Obstetri fisiologi,UNPAD, 1985, hal 254), yaitu :
1. Persalinan lama
Dapat menyebabkan caput succedaneum karena
terjadi tekanan pada jalan lahir yang terlalu lama, menyebabkan pembuluh darah
vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi hingga cairan masuk kedalam
cairan longgar dibawah lingkaran tekanan dan pada tempat yang terendah.
2. Persalinan dengan ekstraksi vakum
Pada bayi yang dilahirkan vakum yang cukup
berat, sering terlihat adanya caput vakum sebagai edema sirkulasi berbatas
dengan sebesar alat penyedot vakum yang digunakan.
3. Manifestasi Klinis Caput Succedaneum
Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan
Anak (Richard E, Behrman.dkk.2000), tanda dan gejala yang dapat ditemui pada
anak dengan caput succedaneum adalah sebagi berikut :
1. Adanya edema dikepala
2. Pada
perabaan teraba lembut dan lunak
3. Edema
melampaui sela-sela tengkorak
4. Batas
yang tidak jelas
5. Biasanya
menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan
4. Patofisiologi Caput Succedaneum
Kelainan ini timbul karena tekanan yang keras pada kepala
ketika memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan
limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstra vaskuler. Benjolan
caput ini berisi cairan serum dan sering bercampur dengan sedikit darah.
Benjolan dapat terjadi sebagai akibat bertumpang tindihnya tulang kepala di
daerah sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah satu upaya bayi untuk
mengecilkan lingkaran kepalanya agar dapat melalui jalan lahir. Umumnya moulage
ini ditemukan pada sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi lahir.
Moulage ini umumnya jelas terlihat pada bayi premature dan akan hilang sendiri
dalam satu sampai dua hari.
Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002,
proses perjalanan penyakit caput succedaneum adalah sebagi berikut :
1. Pembengkakan yang terjadi pada kasus caput
succadeneum merupakan pembengkakan difus jaringan otak, yang dapat melampaui
sutura garis tengah.
2. Adanya edema dikepala terjadi akibat
pembendungan sirkulasi kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh.
Benjolan biasanya ditemukan didaerah presentasi lahir dan terletak periosteum
hingga dapat melampaui sutura.
5. Pemeriksaan Diagnostik Caput Succedaneum
Sebenarnya dalam pemeriksaan caput succedaneum tidak perlu
dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut melihat caput succedaneum sangat
mudah untuk dikenali. Namun juga sangat perlu untuk melakukan diagnosa banding
dengan menggunakan foto rontgen (X-Ray) terkait dengan penyerta caput
succedaneum yaitu fraktur tengkorak, koagulopati dan perdarahan intrakranial.
(Meida.2009)
6. Penatalaksanaan Caput Succedaneum
Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E,
Behrman.dkk.2000), Pembengkakan pada caput succedaneum dapat meluas
menyeberangi garis tengah atau garis sutura. Dan edema akan menghilang sendiri
dalam beberapa hari. Pembengkakan dan perubahan warna yang analog dan distorsi
wajah dapat terlihat pada kelahiran dengan presentasi wajah. Dan tidak diperlukan
pengobatan yang spesifik, tetapi bila terdapat ekimosis yang ektensif mungkin
ada indikasi melakukan fisioterapi dini untuk hiperbilirubinemia.
Moulase kepala dan tulang parietal yang tumpang tindih
sering berhubungan dengan adanya caput succedaneum dan semakin menjadi nyata
setelah caput mulai mereda, kadang-kadang caput hemoragik dapat mengakibatkan
syok dan diperlukan transfusi darah.
Berikut adalah penatalaksanaan secara umum yang bisa
diberikan pada anak dengan caput succedaneum :
1. Bayi dengan caput succedaneum diberi ASI
langsung dari ibu tanpa makanan tambahan apapun, maka dari itu perlu
diperhatikan penatalaksanaan pemberian ASI yang adekuat dan teratur.
2. Bayi
jangan sering diangkat karena dapat memperluas daerah edema kepala.
3. Atur
posisi tidur bayi tanpa menggunakan bantal
4. Mencegah
terjadinya infeksi dengan :
·
Perawatan tali pusat
·
Personal hygiene baik
5.
Berikan penyuluhan pada orang tua tentang
:
·
Perawatan bayi sehari-hari, bayi dirawat seperti perawatan
bayi normal.
·
Keadaan trauma pada bayi , agar tidak usah khawatir karena
benjolan akan menghilang 2-3 hari
6. Berikan
lingkungan yang nyaman dan hangat pada bayi.
7. Awasi
keadaan umum bayi.
7. Komplikasi Caput Succedaneum
1. Infeksi bisa terjadi karena kulit
kepala terluka
2. Ikterus bisa terjadi karena adanya
inkompatibilitas faktor Rh atau golongan darah A, B, O, antaraibu dan bayi.
3. Anemia
C. FRAKTUR HUMERUS
1.
Pengertian Fraktur Humerus
Mansjoer, Arif, (2000) Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. ( Linda Juall C 1999) Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang
yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap oleh tulang.
Fraktur Humerus menurut (Mansjoer,
Arif, 2000) yaitu diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus.
Sedangkan menurut ( Sjamsuhidayat 2004 ) Fraktur humerus adalah fraktur pada
tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung.
Fraktur humerus adalah Kelainan yang
terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak
kepala atau letak sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini
biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi
tersebut menghilang.
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur total.
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur total.
2. Klasifikasi dari
Fraktur Humerus
Fraktur
atau patah tulang humerus terbagi atas :
1. Fraktur
Suprakondilar humerus, ini terbagi atas:
• Jenis ekstensi yang
terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku
dan lengan bawah pada posisi supinasidan lengan siku dalam posisi ekstensi
dengan tangan terfikasi
• Jenis fleksi pada
anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan
bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi.
2. Fraktur
interkondiler humerus
Fraktur yang
sering terjadi pada anak adalah fraktur kondiler lateralis dan fraktur kondiler
medialis humerus
3. Fraktur batang
humerus
Fraktur ini
disebabkan oleh trauma langsung yang mengakibatkan fraktur spiral (fraktur yang
arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi)
4. Fraktur kolum humerus
Fraktur ini dapat
terjadi pada kolum antomikum (terletak di bawah kaput humeri) dan kolum
sirurgikum (terletak di bawah tuberkulum).
3. Etiologi Fraktur
Humerus
Fraktur
tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit
ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab
terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat
pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada
tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau
fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling sering sekunder akibat
kesulitan kelahiran (misalnya makrosemia dan disproporsi sefalopelvik, serta
malpresentasi).
4. Patofisiologi Fraktur
Humerus
Tulang
bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekekuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito,
Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
5. Gejala Fraktur
Humerus
• Berkurangnya
gerakan tangan yang sakit
• Refleks moro
asimetris
• Terabanya
deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit
• Terjadinya tangisan
bayi pada gerakan pasif
Letak fraktur
umumnya di daerah diafisi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
radiologik.
6. Gejala Klinis
Fraktur Humerus
• Diketahui beberapa
hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan kaki yang berkurang dan
asimetris.
• Adanya gerakan
asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi pada tulang femur.
• Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan radiologik.
7. Penanganan Fraktur
Humerus
• Imobilisasi lengan
pada sisi bayi dengan siku fleksi 90 derajat selama 10 sampai 14 hari serta
control nyeri.
• Daya penyembuhan
fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan dengan
deformitas, umumnya akan baik.
• Dalam masa
pertumbuhan dan pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang yang fraktur
tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang yang normal
D. FRAKTUR CLAVICULA
1. Definisi Fraktur Clavicula
Fraktur adalah retaknya tulang, biasanya
disertai dengan cedera di jaringan sekitarnya. Kebanyakan fraktur disebabkan
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Clavicula merupakan tulang yang
berbentuk huruf S, bagian medial melengkung lebih besar dan menuju ke anterior.
Lengkungan bagian lateral lebih kecil dan menghadap ke posterior. Ujung medial
clavicula disebut extremitas sternalis, membentuk persendian dengan sternum,
dan uJung lateral disebut extremitas acromialis, membentuk persendian dengan
acromion. Facies superior clavicula agak halus, dan pada facies inferior di
bagian medial terdapat tuberositas costalis. Disebelah lateral tuberositas
tersebut terdapat sulcus subclavius, tempat melekatnya m. Subclavius, dan
disebelah lateralnya lagi terdapat tuberositas coracoidea, tempat melekat lig.
Coracoclaviculalis.
Clavicula adalah tulang yang
paling pertama mengalami pertumbuhan pada masa fetus, terbentuk melalui 2 pusat
ossifikasi atau pertulangan primer yaitu medial dan lateral clavicula, dimana
terjadi saat minggu ke-5 dan ke-6 masa intrauterin. Kernudian ossifikasi
sekunder pada epifise medial clavicula berlangsung pada usia 18 tahun sampai 20
tahun. Dan epifise terakhir bersatu pada usia 25 tahun sampai 26 tahun.
Pada tulang ini bisa terjadi
banyak proses patologik sama seperti pada tulang yang lainnya yaitu bisa ada
kelainan congenital, trauma (fraktur), inflamasi, neoplasia, kelainan metabolik
tulang dan yang lainnya. Fraktur clavicula bisa disebabkan oleh benturan
ataupun kompressi yang berkekuatan rendah sampai yang berkekuatan tinggi yang
bisa menyebabkan terjadinya fraktur tertutup ataupun multiple trauma.
Fraktur ini merupakan jenis
yang tersering pada bayi baru lahir,yang mungkin terjadi apabila terdapat
kesulitan mengeluarkan bahu pada persalinan. Hal ini dapat timbul pada
kelahiran presentasi puncak kepala dan pada lengan yang telentang pada
kelahiran sungsang. Gejala yang tampak pada keadaan ini adalah kelemahan lengan
pada sisi yang terkena, krepitasi, ketidakteraturan tulang mungkin dapat
diraba, perubahan warna kulit pada bagian atas yang terkena fraktur serta
menghilangnya refleks Moro pada sisi tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan palpasi dan foto rontgent. Penyembuhan sempurna terjadi setelah 7-10
hari dengan imobilisasi dengan posisi abduksi 60 derajat dan fleksi 90 derajat
dari siku yang terkena.
2. Epidemiologi Fraktur Clavicula
Menurut data epidemiologi pada
orang dewasa insiden fraktur clavicula sekitar 40 kasus dari 100.000 orang,
dengan perbandingan laki-laki perempuan adalah 2 : 1. Fraktur pada midclavicula
yang paling sering terjadi yaitu sekitar 85% dari semua fraktur clavicula,
sementara fraktur bagian distal sekitar 10% dan bagian proximal sekitar 5%.
Sekitar 2% sampai 5% dari semua
jenis fraktur merupakan fraktur clavicula. Menurut American Academy of
Orthopaedic Surgeon, frekuensi fraktur clavicula sekitar 1 kasus dari 1000
orang dalam satu tahun. Fraktur clavicula juga merupakan kasus trauma pada
kasus obstetrik dengan prevalensi 1 kasus dari 213 kasus kelahiran anak yang
hidup.
3. Etiologi Fraktur Clavicula
Penyebab farktur clavicula biasanya
disebabkan oleh trauma pada bahu akibat kecelakaan apakah itu karena jatuh atau
kecelakaan kendaraan bermotor, namun kadang dapat juga disebabkan oleh
faktor-faktor non traumatik. Berikut beberapa penyebab pada fraktur clavicula
yaitu :
1. Fraktur clavicula
pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh simphisis pubis selama
proses melahirkan.
2. Fraktur clavicula akibat kecelakaan termasuk
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang lainnya.
3. Fraktur clavicula
akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama, misalnya pada pelajar yang
menggunakan tas yang terlalu berat.
4. Fraktur clavicula akibat proses patologik, misalnya
pada pasien post radioterapi, keganasan clan lain-lain.
Penyebab farktur clavicula
biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu akibat trauma jalan lahir dengan
gejala:
1. Bayi tidak dapat
menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang terkena,
2. Krepitasi dan ketidakteraturan tulang,
3. Kadang-kadang
disertai perubahan warna pada sisi fraktur,
4. Tidak adanya refleks moro pada sisi yang terkena,
5. Adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang
disertai dengan hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.
6. Biasanya diikuti
palsi lengan
Faktor predisposisi fraktur
klavikula adalah:
1. Bayi yang berukuran
besar
2. Distosia bahu
3. Partus dengan letak sungsang
4. Persalinan traumatic .
Pengklasifikasian fraktur clavicula
didasari oleh lokasi fraktur pada clavicula tersebut. Ada tiga lokasi pada
clavicula yang paling sering mengalami fraktur yaitu pada bagian midshape
clavikula dimana pada anak-anak berupa greenstick, bagian distal clavicula dan
bagian proksimal clavicula.
Menurut Neer secara umum
fraktur klavikula diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu :
1. Tipe I : Fraktur
pada bagian tengah clavicula. Lokasi yang paling sering terjadi fraktur.
2. Tipe II : Fraktur pada bagian distal clavicula.
Lokasi tersering kedua mengalami fraktur setelah midclavicula.
3. Tipe III : Fraktur
pada bagian proksimal clavicula. Fraktur yang paling jarang terjadi dari semua
jenis fraktur clavicula, insidensnya hanya sekitar 5%.
Ada beberapa subtype fraktur clavicula bagian distal,
menurut Neer ada 3 yaitu:
1. Tipe I : merupakan fraktur dengan
kerusakan minimal, dimana ligament tidak mengalami kerusakan.
2. Tipe : merupakan fraktur pada daerah medial ligament
coracoclavicular.
3. Tipe III : merupakan fraktur pada daerah distal
ligament coracoclavicular dan melibatkan permukaan tulang bagian distal
clavicula pada AC joint.
4. Diagnosis Fraktur Clavicula
Hasil pemeriksaan
1.
Adanya pembengkakan pada sektor daerah fractur.
2.
Krepitasi.
3.
Pergerakan lengan berkurang.
4.
Iritable selama pergerakan lengan.
Diagnosis RO tidak selalu diindikasikan, 80% tidak
mempunyai gejala dan hanya didapatkan hasil pemeriksaan yang minimal.
5. Penatalaksanaan Fraktur Clavicula
Adapun penatalaksanaan terhadap bayi yang mengalami
fraktur klavikula, yaitu:
1. Bayi jangan banyak
digerakkan
2. Immobilisasi lengan
dan bahu pada sisi yang akit dan abduksi lengan dalam stanhoera menopang bahu
belakang dengan memasang ransel verband
3. Rawat bayi dengan
hati-hati
4. Nutrisi yang adekuat
(pemberian asi yang adekuat dengan cara mengajarkan pada ibu acar pemberian asi
dengan posisi tidur, dengan sendok atau pipet)
5. Rujuk bayi kerumah
sakit
Umumnya 7-10 hari sakit
berkurang, pembentukan kalus bertambah beberapa bulan (6-8 minggu) terbentuk
tulang normal.
E. FLEKSUS BRACHIALIS
1. Pengertian fleksus brachialis
Fleksus
brakialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang
yang berasal dari belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan
menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas. Pleksus brakialis dibentuk oleh
penyatuan bagian dari kelima melalui saraf servikal kedelapan dan saraf dada
pertama, yang semuanya berasal dari sumsum tulang belakang.
Serabut saraf akan didistribusikan
ke beberapa bagian lengan. Jaringan saraf dibentuk oleh cervical yang bersambungan
dengan dada dan tulang belakang urat dan pengadaan di lengan dan bagian bahu.
Trauma lahir pada pleksus brakialis
dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala
atau bahu. Pada kelahiran presentasi verteks yang mengalami kesukaran
melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke lateral yang
berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula
terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan
kepala bayi.
Gejala klinis trauma lahir pleksus
brakialis berupa gangguan fungsi dan posisi otot ekstremitas atas. Gangguan
otot tersebut tergantung dari tinggi rendahnya serabut syaraf pleksus
braklialis yang rusak dan tergantung pula dari berat ringannya kerusakan serabut
syaraf tersebut. Paresis atau paralisis akibat kerusakan syaraf perifer ini
dapat bersifat temporer atau permanen. Hal ini tergantung kerusakan yang
terjadi pada serabut syaraf di pangkal pleksus brakialis yang akut berupa edema
biasa, perdarahan, perobekan atau tercabutnya serabut saraf.
Sesuai dengan tinggi rendahnya
pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma lahir pada saraf tersebut dapat
dibagi menjadi paresis/paralisis (1) paresis/paralisis Duchene-Erb (C.5-C.6)
yang tersering ditemukan (2) paresis/paralisi Klumpke (C.7.8-Th.1) yang jarang
ditemukan, dan (3) kelumpuhan otot lengan bagian dalam yang lebih sering
ditemukan dibanding dengan trauma Klumpke.
Anatomi dari anyaman ini, dibagi
menjadi : Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan Branches maka
cedera di masing-masing level ini akan memberikan cacat/trauma yang
berbeda-beda.
1. Roots : berasal dari akar saraf di leher dan thorax
pada level C5-C8, T1
2. Trunks : dari Roots bergabung
menjadi 3 thrunks
3. Divisions : dari 3 thrunks masing-masing
membagi 2 menjadi 6division
4. Cords : 6
division tersebut bergabung menjadi 3 cords
5. Branches : cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu
: n.musculocutaneus, n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris
Trauma
pada pleksus brakialis yang dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau
tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat
terjadi pada seluruh lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada
penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu
pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala
pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu,
lengan lengan bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri,
kelemahan, gerakan terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun
cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama
kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses persalinan,
menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Secara garis
besar macam-macam plesksus brachialis yaitu :
a. Paralisis Erb-Duchene
Kerusakan cabang-cabang C5 – C6
dari pleksus brakialis menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan lengan untuk
fleksi, abduksi, dan memutar lengan keluar serta hilangnya refleks biseps dan
morro. Gejala pada kerusakan fleksus ini, antara lain hilangnya reflek radial
dan biseps, refleks pegang positif. Pada waktu dilakukan abduksi pasif,
terlihat lengan akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas.
b. Paralisis Klumpke
Kerusakan cabang-cabang C7 –
Th1 pleksus brakialis menyebabkan kelemahan lengan otot-otot fleksus
pergelangan, maka bayi tidak dapat mengepal. Secara klinis terlihat refleks
pegang menjadi negatif, telapak tangan terkulai lemah, sedangkan refleksi
biseps dan radialis tetap positif. Jika serabut simpatis ikut terkena, maka
akan terlihat sindrom Horner yang ditandai antara lain oleh
adanya gejalaprosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya keringat di
daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir tersebut.
c. Paralisis otot lengan bagian dalam
Kerusakan terjadi pada serabut
pleksus brakialis lebih luas dan lebih dalam, yang berakibat fungsi ekstremitas
atas akan hilang sama sekali. Ekstremitas atas akan terkulai lemah, sedangkan
semua refleks otot menghilang. Pada keadaan ini sering dijumpai adanya defisit
sensoris pada lengan. Pada kasus trauma pleksus brakialis, pemeriksaan
radiologik dada dan lengan atas dapat dianjurkan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya fraktur klavikula atau fraktur lengan atas, di samping untuk
mencari komplikasi lain seperti kelumpuhan otot diafragma.
Ada empat jenis cedera pleksus
brakialis:
a. Avulsion, jenis yang paling parah, di mana
saraf rusak di tulang belakang;
b. Pecah, di mana saraf robek tetapi tidak pada
lampiran spinal;
c. Neuroma, di mana saraf telah berusaha untuk
menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi jaringan parut telah berkembang di sekitar
cedera, memberi tekanan pada saraf dan mencegah cedera saraf dari melakukan
sinyal ke otot-otot.
d. Neurapraxia atau peregangan, di mana saraf
telah rusak tetapi tidak robek. Neurapraxia adalah jenis yang paling umum dari
cedera pleksus brakialis.
2. Etiologi Fleksus Brakhialis
Etiologi trauma
fleksus brakhialis pada bayi baru lahir. Trauma fleksus brakhialis pada bayi
dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain:
1) Faktor bayi sendiri : makrosomia, presentasi
ganda, letak sunsang, distosia bahu, malpresentasi, bayi kurang bulan
2)
Faktor ibu : ibu sefalo pelvic disease
(panggul ibu yang sempit), umur ibu yang sudah tua, adanya penyulit saat
persalinan
3)
Faktor penolong persalinan : tarikan yang
berlebihan pada kepala dan leher saat menolong kelahiran bahu pada presentasi
kepala, tarikan yang berlebihan pada bahu pada presentasi bokong.
3. Patofisiologis Fleksus Brakhialis
Bagian cord akar saraf dapat terjadi
avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap trauma yang
meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral
fascia dan mid fore armakan melukai pleksus.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Cedera pleksus brakialis dianggap disebabkan oleh traksi yang berlebihan diterapkan pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu, penggunaan traksi yang berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi janin selama proses persalinan untuk menentukan cedera pada pleksus brakialis. Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu, namun lengan posterior biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang kuat diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri dapat menyebabkan cedera, cedera pleksus brakialis
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Cedera pleksus brakialis dianggap disebabkan oleh traksi yang berlebihan diterapkan pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu, penggunaan traksi yang berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi janin selama proses persalinan untuk menentukan cedera pada pleksus brakialis. Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu, namun lengan posterior biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang kuat diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri dapat menyebabkan cedera, cedera pleksus brakialis
Kompresi yang berat dapat
menyebabkan hematome intraneural,dimana akan menjepit jaringan
saraf sekitarnya.
4. Tanda dan Gejala Fleksus Brakhialis
Tanda
dan gejala trauma fleksus brachialis antara lain :
a. Gangguan motorik pada lengan atas
b. Paralisis
atau kelumpuhan pada lengan atas dan lengan bawah
c. Lengan
atas dalam keadaan ekstensi dan abduksi
d. Jika anak diangkat maka lengan akan lemas dan
tergantung
e. Reflex
moro negative
f. Tangan
tidak bisa menggenggam
g. Reflex
meraih dengan tangan tidak ada
5. Komplikasi Trauma fleksus brakhialis
a. Kontraksi otot yang abnormal (kontraktur)atau pengencangan
otot-otot, yang mungkin menjadi permanen pada bahu, siku atau pergelangan
tangan
b. Permanen, parsial, atau total hilangnya fungsi
saraf yang terkena, menyebabkan kelumpuhan lengan atau kelemahan lengan
6. Penanganan Terhadap Trauma Fleksus Brakhialis
Penanganan atau penatalaksanaan kebidanan meliputi rujukan
untuk membebat yang terkena dekat dengan tubuh dan konsultasi dengan tim
pediatric. Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan untuk
mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan
komplikasi lain seperti kontraksi otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan
cara:
1)
Pada trauma yang ringan yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan pada
pangkal saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1 – 2 minggu untuk
memberi kesempatan penyembuhan yang kemudian diikuti program mobilisasi atau
latihan.
2)
Immobilisasi lengan yang lumpuh dalam posisi lengan atas abduksi 90 derajat,
siku fleksi 90 derajat disertai supine lengan bawah dan pergelangan
tangan dalam keadaan ekstensi
3)
Beri penguat atau bidai selama 1 – 2 minggu pertama kehidupannya dengan cara
meletakkan tangan bayi yang lumpuh disebelah kepalanya.
4)
Rujuk ke rumah sakit jika tidak bisa ditangani.
Penatalaksanaan dengan bentuk kuratif atau pengobatan.
Pengobatan tergantung pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brakialis dan
mungkin termasuk terapi okupasi dan fisik dan dalam beberapa kasus, pembedahan.
Beberapa cedera pleksus brakialis menyembuhkan sendiri. Anak-anak dapat pulih
atau sembuh dengan 3 sampai 4 bulan.
Prognosis juga tergantung pada lokasi dan jenis cedera
pleksus brakialis menentukan prognosis. Untuk luka avulsion dan pecah tidak ada
potensi untuk pemulihan kecuali rekoneksi bedah dilakukan pada waktu yang
tepat. Untuk cedera neuroma dan neurapraxia potensi untuk pemulihan bervariasi.
Kebanyakan pasien dengan cedera neurapraxia sembuh secara spontan dengan
kembali 90-100% fungsi.
Penanganan lesi pleksus brachialis efektif bila cepat
terdeteksi atau dimulai pada usia antara 3 sampai 6 bulan. Ada dua terapi utama
untuk lesi pleksus brachialis yaitu :
1. Latihan fisik melalui fisioterapi (occupational
therapy)
2. Penanganan
bedah
Penanganan awal penderita lesi plekus brachialis pada bayi
lebih difokuskan pada mempertahankan pergerakan seluruh sendi disamping terapi
fisik sebagai antisipasi bila tidak terjadi perbaikan spontan dari fungsi
saraf. Perbaikan spontan terjadi pada umumnya pada sebagian besar kasus dengan
terapi fisik sebagai satu-satunya penanganan. Ada atau tidaknya fungsi motorik
pada 2 sampai 6 bulan pertama merupakan acuan dibutuhkannya penanganan bedah.
Graft bedah mikro untuk komponen utama pleksus brachialis dapat dilakukan pada
kasus-kasus avulsi akar saraf atau ruptur yang tidak mengalami perbaikan.
Penanganan sekunder dapat dilakukan pada pasien bayi
sampai orang dewasa. Prosedur ini lebih umum dilakukan daripada bedah mikro dan
dapat juga dilakukan sebagai kelanjutan bedah mikro. Penanganan bedah ini
meliputi soft-tissue release, osteotomi, dan transfer tendo (Dr. Kumar
Kadiyala). 9
Semua graft saraf yang dibuat pada operasi diimobilisasi selama 2 sampai 6 minggu. Rehabilitasi sempurna diharapkan mulai setelah 6 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan fisoterapi setelah 6 minggu dan follow up setiap 3 bulan.
Semua graft saraf yang dibuat pada operasi diimobilisasi selama 2 sampai 6 minggu. Rehabilitasi sempurna diharapkan mulai setelah 6 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan fisoterapi setelah 6 minggu dan follow up setiap 3 bulan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cephalhematoma adalah
subperiosteal akibat kerusakan jaringan periosteum karena tarikan atau tekanan
jalan lahir, dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Pemeriksaan
x-ray tengkorak dilakukan, bila dicurigai ada nya faktur (mendekati hampir 5%
dari seluruh cephalhematoma). Kelainan ini agak lama menghilang (1-3
bulan).Pada gangguan yang luas dapat menimbulkan anemia dan
hiperbilirubinemia.Perlu pemantauan hemoglobin, hematokrik, dan
bilirubin.Aspirasi darah dengan jarum tidak perlu di lakukan. (Sarwono
Prawirohardjo,2007).
Caput succedaneum adalah edema kulit kepala anak yang
terjadi karena tekanan dari jalan lahir kepada kepala anak. Atau pembengkakan
difus, kadang-kadang bersifat ekimotik atau edematosa, pada jaringan lunak
kulit kepala, yang mengenai bagian kepala terbawah, yang terjadi pada kelahiran
verteks. Karena tekanan ini vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi
hingga cairan masuk ke dalam jaringan longgar dibawah lingkaran tekanan dan
pada tempat yang terendah. Dan merupakan benjolan yang difus kepala, dan
melampaui sutura garis tengah. (Obstetri fisiologi, UNPAD.1985)
Fraktur Humerus menurut (Mansjoer, Arif, 2000) yaitu
diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus. Sedangkan menurut (
Sjamsuhidayat 2004 ) Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang
disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung.
Fraktur
humerus adalah Kelainan yang terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan
lengan pada presentasi puncak kepala atau letak sungsang dengan lengan
membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat
digerakkan dan refleks Moro
Clavicula merupakan tulang yang
berbentuk huruf S, bagian medial melengkung lebih besar dan menuju ke anterior.
Lengkungan bagian lateral lebih kecil dan menghadap ke posterior. Ujung medial
clavicula disebut extremitas sternalis, membentuk persendian dengan sternum,
dan uJung lateral disebut extremitas acromialis, membentuk persendian dengan
acromion. Facies superior clavicula agak halus, dan pada facies inferior di
bagian medial terdapat tuberositas costalis. Disebelah lateral tuberositas
tersebut terdapat sulcus subclavius, tempat melekatnya m. Subclavius, dan
disebelah lateralnya lagi terdapat tuberositas coracoidea, tempat melekat lig.
Coracoclaviculalis.
Fleksus brakialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari belakang leher,
meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas.
Pleksus brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari kelima melalui saraf
servikal kedelapan dan saraf dada pertama, yang semuanya berasal dari sumsum
tulang belakang.
B. Saran
Dalam melakukan pertolongan
persalinan perlu diperhatikan posisi dankondisi bayi saat melewati jalan lahir.
Proses pertolongan yang tidak cermat dan professional beresiko tinggi dapat
menyebabkan trauma pada bayi saat berada di jalan lahir. Tentu hal ini akan
berdampak pada kesehatan bayi pasca persalinan.
Pengetahuan yang baik tentang
kesehatan bayi, posisi bayi dan jalan lahir serta metode persalinan yang tetap
akan sangat menentukan keselamatan bayi saat dilahirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman
R., Vaughan V., Trauma lahir, dalam Nelson- Ilmu Kesehatan Anak, Ed.
XII, EGC, Jakarta, 1994 : 608-614.
Dewi,
Vivian NL.2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.Jakarta: Medika Salemba
Hasan
R., Alatas H., Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UI, Jakarta, 1985.
Henderson,
Christine, dkk. 2006.Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.Markum,
A.H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Manuaba.1998.Ilmu
kebidanan, Penyakit kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidik Bidan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Marku,
A.H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Wiknjosastro
H., 1997. Perlukaan persalinan, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Mochtar,
Rustam.1998.Sinopsis Obstetri.Jakarta : EGC .
Muslihatun,
Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita.Fitramaya
Yogyakarta
Prawiroraharjo,
Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Jakarta
Saifuddin,
Abdul Bari.2002.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Wiknjosastro,Hanifa.
2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatus. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka
Wiknjosastro,Hanifa.2005.
Ilmu Kebidanan.Jakarta : Bina Pustaka Sarwono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar