BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hidup
atau mati adalah inheren bagi setiap mahluk hidup, termasuk manusia. Hidup dan
mati merupakan masalah hakiki manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Namun, dengan semakin berkembangnya jaman yang begitu pesat, masalah
hidup atau mati menjadi hal yang semakin problematic dan patut diprtanyakan
maknanya. Euthanasia adalah salah satu contoh mengenai pilihan hidup dan mati
manusia yang problematis dan dilematis akibat perkembangan jaman. Euthanasia atau
hak mati bagi pasien sudah menjadi hal umum dan banyak yang dipertanyakan,
tetapi tidak semua orang membenarkan tindakan tersebut.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya
transpalntasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan
keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan
dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi,
upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan
yang cepat dan tuntas. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu
cara penembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat
luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hokum, atau social budaya ikut
mempengaruhinya.
B. Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui etika dalam euthanasia.
2.
Untuk mengetahui etika dalam tranplantasi organ.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika
dalam Eutanasia
1.
Pengerian
Eutanasia
Euthanasia berasal dari kata Yunani yaitu ‘eu’ yang berarti baik dan
‘thanathos’ yang berarti kematian. Jadi secara Etimologis Euthanasia dapat
diartikan sebagai mati dengan baik, mati dengan bahagia, mati senang, mati
tenang, mati damai, mati tanpa penderitaan (a good death). Euthanasia bisa juga
disebut dengan dibiarkan mati oleh belaskasihan (merciful death) atau
Euthanasia aktif dan dimatikan karena belas kasihan (mercy killing) atau
Euthanasia pasif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kematian yang
membahagiakan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Euthanasia ada dua jenis, yaitu
Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Euthanasia
aktif adalah mengambil kehidupan seseorang untuk mngurangi penderitaanya
dimana terkandung unsur kesengajaan dalam pelaksanaanya dan akibatnya
menghasilkan kematian. Sedangkan Euthanasia
pasif adalah membiarkan si sakit mati tanpa bantuan alat bantu secara medis
dan akibatnya membiarkan kematian.
Namun ternyata Euthanasia emiliki jenis-jenis lain, yaitu Euthanasia
involunter dan Euthanasia Volunter. Euthanasia volunter berarti si sakit
meminta sendri dan mengetahui kematiannya, sedangkan Euthanasia involunter
biasanya dilakukan atas permintaan orang lain tanpa diketahui oleh si sakit
sehingga sangat sulit mengkategorikan ke dalam beberapa jenis tindakan
Euthanasia.
2.
Euthanasia menurut Etika Medis
Berkembangnya ilmu teknologi dalam dunia kedokteran dan pelayanan medis
merupakan tantangan bagi etika medis saat ini. Hal inilah yang menjadi
persoalan rumit bagi masalah Euthanasia. Secara umum tindakan yang berkaitan
dengan etika medis yang dilakukan oleh petugas medis berupaya untuk membantu
para pasiennya selama perawatannya, sehingga pasien dapat memperoleh kesembuhan
seperti sediakala.
Para petugas medis memperjuangkan agar dapat memperoleh hidup yang lebih
baik, karena naluri terkuat manusia adalah mempertahankan hidupnya. Dalam hal
ini berarti Tim Medis dilarang mengakhiri kehidupan manusia (Euthanasia),
walaupun menurut hasil pemeriksaan medis dan pengalamannya pasien tersebut
tidak dapat diselamatkan lagi atau tidak dapat disembuhkan.
Kode Etik kedokteran Indonesia melarang adanya tindakan Euthanasia Aktif,
dengan kata lain Tim Medis tidak berhak sebagai Tuhan yang dapat mencabut nyawa
orang dengan sembarangan, karena dokter adalah orang yang bertugas
menyelamatkan atau memelihara kehidupan bukan bertindak sebagai penentu
kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan. Apabila dirasakan penyakit
pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka dokter dapat membiarkan
pasien tanpa alat bantu bukan mengakhiri hidup sang pasien.
3.
Euthanasia Menurut pandangan Hukum di Indonesia
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh
penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien
dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan
melawan hukum.
Hanya saja isi pasal 344 KUHP itu masih mengandung
masalah. Sebagai terlihat pada pasal itu, bahwa permintaan menghilangkan nyawa
itu harus disebut dengan nyata dan sungguh-sungguh. Maka bagaimanakah pasien
yang sakit jiwa, anak-anak, atau penderita yang sedang comma. Mereka
itu tidaklah mungkin membuat pernyataan secara tertulis sebagai tanda bukti
sungguh-sungguh.
Sekiranya euthanasia dilakukan juga, mungkin saja dokter
atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 itu, tetapi ia tidak bisa
melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa dengan
sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Dokter melakukan tindakan
euthanasia (aktif khususnya), bisa diberhantikan dari jabatannya, karena
melanggar etik kedokteran.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri
Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk
insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan
bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia
ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter.
Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani,
berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika
Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan
kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri
hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan
sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan
euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang
dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak
untuk mengakhirinya.
4. Euthanasia Menurut Pandanangan Agama
a. Euthanasia menurut pandanagan islam
Solusi bagi pasien yang putus asa dari
kesembuhan sehingga ingin bunuh diri atau euthanasia adalah, ia menyadari akan
kelemahan imannya, sebab sakit adalah satu bentuk ujian kesabaran. Jika ingin
ethanasia dengan permintaan sendiri maka Allah mengancamnya melalui hadis Nabi
yang artinya : “Barang siapa mencekik
lehernya, ia akan mencekik lehernya pula dalam neraka. Dan siapa menikam
dirinya, maka ia menikam dirinya pula dalam api
neraka” (dalam kitab Shahih Bukhari).
Jika keluarganya ingin pasien di euthansia
dengan tujuan agar cepat memperoleh harta warisan, dalam KUHP merupakan
tindakan pembunuhan direncanakan dan diancam hukuman. Sementara dalam ajaran
Islam, orang yang membunuh tidak akan mendapatkan wasisan dari orang yang
dibunuhnya itu, jika ia merupakan salah satu ahli warisnya.
Tapi para ulama sepakat dan begitu juga
dikalangan kedokteran bahwa euthanasia pasif atau negative dibolehkan, yakni
tanpa memberikan pengobatan bagi pasien karena tidak mampu atau memang pasrah
dengan keadan yang tak tau kepastiannya, hanya menunggu kekuasaan Allah.
Tidak boleh menginginkan mati, sesuai dengan
hadis nabi yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bersabda Rasulullah saw, “janganlah ada seseorang dari kamu yang
mengiginkan mati. Kalau ia baik (orang yang sakit itu) mungkin akan bertambah
kebaikannya, dan kalau ia jahat mungkin ia bisa bertaubat (H.R. Bukhari
Muslim).
Islam dengan nyata melarang dilakukannya penghentian
kehidupan tanpa alasan yang benar, baik terhadap kehidupan orang lain maupun
kehidupan diri sendiri, meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan
pasien, sebagaimana diatur dalam Al Quran.
“Dan janganlah membunuh
jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu (alasan) yang benar (QS Al
Isra, 17:33)”
“Janganlah membunuh
dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu (QS Al-Nisa,
4:29)”
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS Al-Baqarah, 2:286)”
b. Euthanasia Menurut Pandangan Gereja.
Dalam pandangan Gereja kehidupan merupakan sesuatu yang sangat bernilai,
oleh karena itu masalah Eutahanasia menjadi keprihatinan besar bagi Gereja.
Menurut Gereja Euthanasia adalah suatu tindakan semena-mena merampas hidup
manusia karena hal itu sama dengan pembunuhan. Bagi Gereja manusia
memperjuangkan hidup untuk mengikut Kristus yang juga mengalami penderitaan
karena, penderitaan dapat menjadi iman dan jalan untuk semakin mengenal
Kristus.
Kristus mengajarkan kepada kita mncapai kesempurnaan dan bersatu Allah
Bapa karena salib yang Ia terima menjadi jalan kebangkitan-Nya. Dengan wafat
dan kebangkitan-Nya menjadi Juruselamat dunia. Oleh seba itu sakit dan
penderitaan yang dialami perlu disyukuri olh manusia, karena manusia harus
dihormati karena hidup tidak hanya untuk ini saja, tetapi hidup terus
berlangsung selama-lamanya. Pada intinya hidup dan mati manusia adalah milik Tuhan
(Roma 14:8 ; Filipi 1:20).
c. Euthanasia Dalam Ajaran Gereja
Katolik Roma
Sejak
pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan
pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita
sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai
eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan
mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern
penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini
dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran
iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya
dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup.
Paus
Yohanes Paulus II,
yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik
Injil Kehidupan (Evangelium
Vitae) nomor 64
yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan
dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan
lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus
Yohanes Paulus II
juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru,
belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
d. Euthanasia Dalam Ajaran Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan
pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah
merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma"
yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah
kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari
penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah
merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun
juga.
Bunuh diri
adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran
bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat
reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia
adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat
yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan
(Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia
ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa
arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum
selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
e. Euthanasia Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama
Buddha sangat
menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup
adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal
tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih"
("karuna").
Mempercepat
kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap
perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi
"karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan
keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
f. Euthanasia menurut Landasan
Teologis.
Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih. Ia memberikan kehidupan
kepada ciptaan-Nya terutama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa hidup manusia
merupakan anugerah Allah yang sungguh besar, Allah tidak mengharapkan umatnya
mengalami kematian dan penderitaan. Hal ini berarti bahwa kita memperoleh hidup
abadi dengan perseturuan dengan Allah. Ia bukanlah Allah orang mati melainkan
Allah orang hidup (Keluaran 2:23-4 ::17).
Menurut ajaran Agama Kristen, nyawa manusia merupakan pemberian langsung
dari Allah. Oleh karena itu, tindakan apapun yang bertujuan untuk menghilangkan
nyawa manusia dengan alas an apapun sangat ditentang. Didalam Alkitab pun
dengan jelas bahwa ada larangan “jangan membunuh” (Keluaran 20: 13) dan
“kematian adalah hak Tuhan” (Ulangan 32:29; Ayub 1:21; Ibrani 9:27).
Beriman kepada Allah berarti mengikut Dia dan menerima salib bukan lari
dari sebuah kenyataan. Euthanasia aktif langsung yang terjadi atas kehendak
pasien atau pihak keluarganya merupakan tanda bahwa manusia melarikan diri dari
kenyataan dan menghindari diri dari penderitaan dan salib. Tindakan tersebut
merupakan tindakan keputusasaan manusia pada kenyataan hidup karena tidak ada
lagi pengharapan akan kasih Allah untuk memperoleh kehidupan yang akan datang.
5. Eutanasia menurut hukum di
berbagai negara
Sejauh
ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia
serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan
Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di
Spanyol, Jerman
dan Denmark.
a.
Belanda
Pada
tanggal 10 April 2001 Belanda
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda
menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak
untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi
perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah
karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"
dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November
1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak
akhir tahun 1993,
Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus
eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai
betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang
berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana
seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan
dihukum.
b.
Australia
Negara
bagian Australia, Northern
Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory
menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali
dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.
c.
Belgia
Parlemen
Belgia
telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.
Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap
tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara
ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini
sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi
kematian".
Belgia
kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda
dan negara bagian Oregon di Amerika).
Senator
Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis
adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
d.
Amerika
Eutanasia
agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di
Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika
yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon,
yang pada tahun 1997 melegalisasikan
kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian
yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini
hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat
yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan
akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga
kali pasien, dimana dua kali secara lisan
(dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak
boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis
penyakit dan prognosis
serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas
bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi
yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum
jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS
pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah
lembaga jajak pendapat
terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
e.
Swiss
Di Swiss,
obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum,
pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937
dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya
menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan
suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri
sendiri."
Pasal
115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan
seseorang.
f.
Inggris
Pada
tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan
Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris
melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi
faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun
hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di
kerajaan Inggris
demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian
pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA)
yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
g.
Jepang
Jepang
tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula
Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme
court of Japan)
tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada
2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya
pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死,
shōkyokuteki anrakushi).
Kasus
yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university
pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死,
sekkyokuteki anrakushi).
Keputusan
hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu
alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan
pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan
selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana
dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai
sebuah yurisprudensi,
namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara
guna melaksanakan eutanasia.
h.
Republik Ceko
Di Republik
Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan
dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud
untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu
kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan
Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal
kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
i.
India
Di India
eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan
eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300
dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian
penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang
melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang
mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada
ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus
eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang
menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah
membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus
eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia
di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
j.
China
Di China,
eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia
terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang
melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat
(Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun
2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan
untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya
namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia
dalam kesakitan.
k.
Afrika Selatan
Di Afrika
Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara
tegas mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku
eutanasia
untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.
l.
Korea
Belum
ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea,
namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang
di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana
dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada
seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas
desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada
jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya
dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang
nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada
akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan
eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta
penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.
B.
Etika Dalam Tranplantasi
1. Definisi
Transpaltasi
organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medic yang sangat
bermanfaat bagi pasien dengaan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Donor organ
atau lebih sering disebut transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri
atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Syarat tersebut
melipui kecocokan organ dari donor dan resipen.
Donor organ adalah pemindahan organ tubuh manusia yang
masih memiliki daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak
sehat dan tidak berfungsi dengan baik apabila diobati dengan teknik dan cara
biasa, bahkan harapan hidup penderitan hampir tidak ada lagi. Sedangkan
resipien adalah orang yang akan menerima jaringan atau organ dari orang lain
atau dari bagian lain dari tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang ditansplantasikan
biasa adalah organ vital seperti ginjal, jantung, dan mata. namun dalma
perkembangannya organ-organ tubuh lainnya pun dapat ditransplantasikan untuk
membantu ornag yang sangat memerlukannya.
Menurut pasal 1 ayat 5 Undang-undang
kesehatan,transplantasi organ adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan
organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau
tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau
jaringan tubuh. Pengertian lain mengenai transplantasi organ adalah berdasarkan
UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, transplantasi adalah tindakan medis
untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh
orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan
dan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
2. Jenis Transplantasi Organ
Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi:
a. Autotransplantasi:
pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu
sendiri.
b. Homotransplantasi
: pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang
lain.
c. Heterotransplantasi
: pemindahan organ atau jaringan dari satu spesies ke spesies lain.
d. Autograft : Transplantasi jaringan untuk orang yang sama. Kadang-kadang hal ini
dilakukan dengan jaringan surplus, atau jaringan yang dapat memperbarui, atau
jaringan lebih sangat dibutuhkan di tempat lain (contoh termasuk kulit grafts , ekstraksi
vena untuk CABG , dll) Kadang-kadang autograft dilakukan untuk mengangkat jaringan dan
kemudian mengobatinya atau orang, sebelum mengembalikannya (contoh termasuk batang
autograft sel dan
penyimpanan darah sebelum operasi ).
e. Allograft :
Allograft adalah suatu transplantasi organ atau jaringan antara dua non-identik
anggota genetis yang sama spesies . Sebagian besar jaringan manusia
dan organ transplantasi yang allografts. Karena perbedaan genetik antara organ
dan penerima, penerima sistem kekebalan tubuh akan mengidentifikasi organ sebagai
benda asing dan berusaha untuk menghancurkannya, menyebabkan penolakan transplantasi .
f. Isograft :
Sebuah subset dari allografts di mana organ atau jaringan yang
ditransplantasikan dari donor ke penerima yang identik secara genetis (seperti kembar identik ).
Isografts dibedakan dari jenis lain transplantasi karena sementara mereka
secara anatomi identik dengan allografts, mereka tidak memicu respon kekebalan.
g. xenograft
dan xenotransplantation : Transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies
yang lain. Sebuah contoh adalah transplantasi katup jantung babi, yang cukup
umum dan sukses. Contoh lain adalah mencoba-primata (ikan primata non
manusia)-transplantasi Piscine dari pulau kecil (yaitu pankreas pulau jaringan atau) jaringan.
h. Transplantasi
Split : Kadang-kadang organ almarhum-donor, biasanya hati, dapat dibagi antara
dua penerima, terutama orang dewasa dan seorang anak. Ini bukan biasanya sebuah
pilihan yang diinginkan karena transplantasi organ secara keseluruhan lebih
berhasil.
i.
Transplantasi Domino : Operasi ini
biasanya dilakukan pada pasien dengan fibrosis kistik karena kedua paru-paru perlu
diganti dan itu adalah operasi lebih mudah secara teknis untuk menggantikan
jantung dan paru-paru pada waktu yang sama. Sebagai jantung asli penerima
biasanya sehat, dapat dipindahkan ke orang lain yang membutuhkan transplantasi
jantung. (parsudi,2007).
Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor alat dan atau jaringan
tubuh, maka transplantasi dapat dibedakan menjadi :
a. Transplantasi
dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup
adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang ke orang lain atau ke
bagian lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Donor hidup ini
dilakukan pada jaringan atau organ yang bersifat regeneratif, misalnya kulit,
darah dan sumsum tulang, serta organ-organ yang berpasangan misalnya ginjal.
b. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah
Transplantasi
dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ atau jaringan dari tubuh
jenazah ke tubuh orang lain yang masih hidup. Jenis organ yang biasanya
didonorkan adalah organ yang tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi misalnya
jantung, kornea, ginjal dan pankreas.
3. Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi
Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha
transplantasi adalah (a) donor hidup, (b) jenazah dan donor mati, (c) keluarga
dan ahli waris, (d) resepien, (e) dokter dan pelaksana lain, dan (f)
masyarakat. Hubungan pihak – pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam
transplantasi akan dibicarakan dalam uraian dibawah ini.
a. Donor Hidup
Adalah orang yang memberikan jaringan /
organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum memutuskan untuk menjadi
donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi, baik
resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya lebih
lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan. Disamping
itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis.
Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut
untuk mencegah timbulnya masalah.
b. Jenazah dan donor mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah
mengizinkan atau berniat dengan sungguh – sungguh untuk memberikan jaringan /
organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah meninggal kapan seorang
donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila sebelum
meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang
merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau
pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat
kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.
c. Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien
sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari konflik
semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari. Dari
keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor dan
keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk
mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
d. Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan / organ
orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan
yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang
resepien harus benar – benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim
pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat
memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus
menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga
perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam
percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan
datang.
e. Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi, tim
pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga
kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal yang mungkin akan terjadi setelah
dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di kemudian hari
dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam
melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan
– pertimbangan kepentingan pribadi.
f. Masyarakat
Secara tidak sengaja masyarakat turut
menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara
cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik
masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi.
Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlikan,
atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
4. Transplantasi Organ Dari Segi
Hukum
Dasar hukum
dilaksanakannya transplantasi organ sebagai suatu terapi adalah Pasal 32 ayat
(1), (2), (3) tentang hak pasien untuk memperoleh kesembuhan dengan pengobatan
dan perawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan :
a. Pasal 32 ayat (1) berbunyi: Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status
kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan
cacat.
b. Pasal 32 ayat (2) berbunyi: Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau
perawatan.
c. Pasal
32 ayat (3) berbunyi: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Sedangkan
untuk prosedur pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah
Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia.
Pada
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaksanaan transplantasi
diatur dalam Pasal 34 yang berbunyi:
a. Pasal 34 Ayat (1): Transplantasi organ
dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan
tertentu.
b. Pasal
34 Ayat (2): Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan
ahli waris atau keluarganya.
c. Pasal 34 Ayat (3): Ketentuan mengenai syarat
dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dan Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan
Pemerintah No.18 tahun 1981, tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Pokok-pokok
peraturan tersebut adalah :
1. Pasal 1
·
Alat tubuh manusia adalah kumpulan
jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai
bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.
·
Jaringan adalah kumpulan sel-sel
yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan tertentu.
·
Transplantasi adalah rangkaian
tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang
berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat
dan jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
·
Donor adalah orang yang
menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan
kesehatan.
·
Meninggal dunia adalah keadaan
insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yag berwenang bahwa fungsi otak,
pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti.
2. Pasal
10
Transplantasi
alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 2 Huruf a dan Huruf b, yaitu
harus dengan persetujuan tertulis penderita dan keluarga yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia.
3. Pasal
11
·
Transplantasi organ dan jaringan
tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh mentri kesehatan.
·
Transplantasi alat dan jaringan
tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati
donor yang bersangkutan.
4. Pasal
12.
Penentuan
saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medic
dengan dokter yang melakukan transplantasi.
5. Pasal
13
Persetujuan
tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan dua
orang saksi.
6. Pasal 14
Pengambilan
alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata
dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan
tertulis keluarga terdekat.
7. Pasal 15
Sebelum
persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan
oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu
diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai
sifat operasi, akibat-akibat dan kemungkinan yang dapat terjadi . dokter yang
merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah
menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
8. Pasal
16
Donor atau
keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.
9. Pasal
17
Dilarang
memperjual-belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
10. Pasal
18
Dilarang
mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan
dari luar negri.
5. Aspek
Etika Hukum Dalam Pengelolaan Pasien Donor
Organ Tubuh
Pasal 1 ayat 5 UU Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 memberikan
pengertian “Transplantasi” adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan
organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau
tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau
jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Pasal 1 huruf f PP Nomor 18
Tahun 1981 menjelaskan “Donor” adalah orang yang menyumbangkan alat dan atau
jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.
Lebih lanjut mengenai transplantasi
dijelaskan dalam Pasal 33 – 34 UU Nomor 23 tahun 1992 ini. Pasal 33 ayat (1)
menyebutkan bahwa dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan
obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi. Larangan
transplantasi untuk tujuan komersial dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi
darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
Secara medis ada persyaratan yang
harus dipenuhi untuk melakukan donor organ tersebut. Diantaranya adalah
memiliki DNA, golongan darah, jenis antigen yang cocok anatara si Donor dan si
Resipien, tidak terjadi reaksi penolakan secara antigen dan antibodi oleh
resipien, harus dipastikan apakah sirkulasi, perfusi dan metabolisme organ
masih berjalan dengan baik dan belum mengalami kematian (nekrosis). Hal ini akan
berkaitan dengan isu mati klinis dan informed consent. Perlu
adanya saksi yang disahkan secara hukum bahwa organ seseorang atau keluarganya
didonorkan pada keluarga lain agar dikemudian hari tidak ada masalah hukum.
Biasanya ada sertifikat yang menyertai bahwa organ tersebut sah dan legal. Pada
kenyataannya perangkat hukum dan undang-undang mengenai donor organ di
Indonesia belum selengkap di luar negeri sehingga operasi donor organ untuk
klien Indonesia lebih banyak dilakukan di Singapura, China, atau Hongkong.
Tenaga medis atau dokter yang akan
melakukan transplantasi dari tubuh donor ke penerima pun haruslah dilakukan
oleh orang yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan hal itu dan
dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Selain itu juga harus memperhatikan
kesehatan dari pendonor, serta mendapat persetujuan dari ahli waris ataupun
keluarganya. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 undang –
undang ini.
Pengambilan organ tubuh tidak boleh
dilakukan tanpa adanya izin yang jelas/nyata yang diberikan oleh donor.
Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 1981, persetujuan pasien dalam upaya medis
transplantasi organ tubuh, persetujuan yang diberikan oleh seorang donor
jenazah adalah ketika ia masih hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan
keluarga terdekatnya atau adanya persetujuan dari keluarga terdekatnya jika
selama hidupnya donor tidak pernah membuat persetujuan. Hal ini menjadi suatu
hal yang penting karena meskipun tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi, namun
dalam hal ini kita masih harus tetap menghormati hak integritas dari donor yang
telah mati atas jasad yang ditinggalkan. Jika selama hidupnya donor belum
pernah memberikan persetujuan untuk dapat dilakukannya transplantasi terhadap
salah satu organ tubuhnya maka, hak untuk memberikan persetujuan eksplantasi
ada pada ahli warisnya (Pasal 10 jo Pasal 2 PP nomor 18 Tahun 1981).
Persetujuan dari pasien yang
bersangkutan, yang akan melindungi pasien dari tindakan kesewenangan dokter
yang dapat saja terjadi sehingga mengakibatkan adanya gangguan terhadap diri
pasien dapat meniadakan sifat melanggar hukum tanggung jawab pidana yang harus
dibuktikan.
Penegakan hukum terhadap tindak
pidana perdagangan organ tubuh belum sesuai dengan yang diharapkan karena baik
di dalam KUHP, UU. Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan maupun di dalam RKUHP
tahun 2004, tidak ada satu pasal pun yang formulasi isi pasalnya memberikan
karakteristik mengenai tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai praktek
jual-beli organ tubuh manusia. Di KUHP sendiri yang tidak mengatur mengenai
tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia, pelaku dapat dikenakan Pasal 359
KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP, dan Pasal 362 KUHP. Di dalam UU. No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh dapat dikenai
Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 80 ayat (3). RKUHP tahun 2004 yang belum disahkan
sampai sekarang pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh dapat dikenai
Pasal 394 RKUHP tentang transplantasi organ tubuh.
Sedangkan di dalam Permenkes Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, juga tidak ada satu pasal pun yang
formulasi isi pasalnya memberikan karakteristik mengenai pengelolaan rekam
medis pasien donor organ tubuh secara spesifik. Dengan begitu, pengelolaan
rekam medis pasien donor organ sama saja dengan pengelolaan rekam medis pasien
umum lainnya, hanya saja pada pelaksanaan transplantasi organ dibutuhkan
persetujuan dari pasien donor ataupun dari pihak keluarganya, dan juga
dibutuhkan persetujuan dari pihak calon resipien beserta keluarga agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Pemeriksaan terhadap donor dilakukan
selama 14 hari meliputi pemeriksaan jasmani, laboratorium dan penunjang. Proses
cangkok ginjal merupakan serangkaian tindakan berikut: 1. Menentukan calon
resipien dan calon donor; 2. Pemeriksaan jasmani; 3. Pemeriksaan laboratorium;
4. Pemeriksaan penunjang; 5. Tindakan bedah memindahkan ginjal dari donor sehat
kepada resipien; 6. Pemberian obat anti penolakan jangka pendek dan jangka
panjang.
Kesepakatan keluarga donor dan
resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari
konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari.
Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor
dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan
untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
Untuk melakukan suatu transplantasi,
tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga
kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal yang mungkin akan terjadi
setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di
kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong
pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian,
dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh
pertimbangan – pertimbangan kepentingan pribadi.
Beberapa kewajiban pokok yang menyangkut isi rekam medis
berkaitan dengan aspek hukum adalah:
1. Segala gejala atau peristiwa yang
ditemukan harus dicatat secara akurat dan langsung;
2. Setiap tindakan yang dilakukan
tetapi tidak ditulis, secara yuridis dianggap tidak dilakukan;
3. Rekam medis harus berisikan fakta
dan penilaian klinis;
4. Setiap tindakan yang dilakukan
terhadap pasien harus dicatat dan dibubuhi paraf;
5. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca
(juga oleh orang lain):
a. Kesalahan yang diperbuat oleh tenaga
kesehatan lain karena salah baca dapat berakibat fatal.
b. Tulisan yang tidak bisa dibaca, dapat
menjadi bumerang bagi si penulis, apabila rekam medis ini sampai ke pangadilan.
6. Jangan menulis tulisan yang bersifat
menuduh atau mengkritik teman sejawat atau tenaga kesehatan yang lainnya;
7. Jika salah menulis, coretlah dengan
satu garis dan diparaf, sehingga yang dicoret masih bisa dibaca;
8. Jangan melakukan penghapusan,
menutup dengan tip-ex atau mencorat-coret sehingga tidak bisa dibaca ulang.
Pasal
81
Ayat
1:
Barangsiapa
yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
1. Melakukan transplantasi organ dan
atau jaringan tubuh
2. Melakukan implan alat kesehatan
3. Melakukan bedah plastik dan
rekonstruksi
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan atau
denda paling banyak 140 jt rupiah.
Ayat
2:
Barangsiapa
dengan sengaja:
1. mengambil organ dari seorang donor
tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli
waris atau keluarganya;
2. memproduksi dan atau mengedarkan
alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan;
3. mengedarkan sediaan farmasi dan atau
alat kesehatan tanpa izin edar;
4. menyelengarakan penelitian dan atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusiai tanpa
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta norma yang
berlaku dalam masyarakat;
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan atau pidana denda paling banyak
140 juta rupiah.
Persetujuan meliputi berbagai aspek
pada hubungan antara dokter dan pasien, diantaranya:
1. Kerahasiaan dan pengungkapan
informasi
Dokter membutuhkan persetujuan
pasien untuk dapat membuka informasi pasien, misalnya kepada kolega dokter,
pemberi kerja atau perusahaan asuransi. Prinsipnya tetap sama, yaitu pasien
harus jelas terlebih dahulu tentang informasi apa yang akan diberikan dan siapa
saja yang akan terlibat.
2. Pemeriksaan skrining
Memeriksa individu yang sehat,
misalnya untuk mendeteksi tanda awal dari kondisi yang potensial mengancam
nyawa individu tersebut, harus dilakukan dengan perhatian khusus.
3. Pendidikan
Pasien dibutuhkan persetujuannya
bila mereka dilibatkan dalam proses belajar-mengajar. Jika seorang dokter
melibatkan mahasiswa (co-ass) ketika sedang menerima konsultasi pasien, maka
pasien perlu diminta persetujuannya. Demikian pula apabila dokter ingin
merekam, membuat foto ataupun membuat film video untuk kepentingan pendidikan.
4. Penelitian
Melibatkan pasien dalam sebuah
penelitian merupakan proses yang lebih memerlukan persetujuan dibandingkan
pasien yang akan menjalani perawatan. Sebelum dokter memulai penelitian dokter
tersebut harus mendapat persetujuan dari Panitia etika penelitian.
Persetujuan harus diberikan secara
bebas, tanpa adanya tekanan dari manapun, termasuk dari staf medis, saudara,
teman, polisi, petugas rumah tahanan/ Lembaga Pemasyarakatan, pemberi kerja,
dan perusahaan asuransi. Bila persetujuan diberikan atas dasar tekanan maka
persetujuan tersebut tidak sah. Pasien yang berada dalam status tahanan polisi,
imigrasi, LP atau berada di bawah peraturan perundangundangan di bidang
kesehatan jiwa/mental dapat berada pada posisi yang rentan. Pada situasi
demikian, dokter harus memastikan bahwa mereka mengetahui bahwa mereka dapat
menolak tindakan bila mereka mau.
UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran mengatur bahwa pembukaan informasi tidak memerlukan persetujuan
pasien pada keadaankeadaan:
- untuk kepentingan kesehatan
pasien
- memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, misalnya dalam bentuk visum et
repertum
- atas permintaan pasien sendiri
- berdasarkan ketentuan
undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina.
Setelah memperoleh persetujuan
pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi prinsip “need to know”, yaitu
prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga tersebut hanya
secukupnya – yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta informasi.
TROS
(The Right of Self-determination) merupakan sumber hak individu, yaitu :
a) Hak
atas privacy, merupakan suatu hak pribadi, suatu hak atas
kebebasan/keleluasaan pribadi;
b) Hak atas badan sendiri,
apakah badan seseorang milik sendiri?
Orang mempunyai hak atas badannya sendiri,
misal:
a) Menyetujui
/ menolak suatu tindakan medis
b) Menjadi
donor darah organ manusia
c) Menjadi
donor darah
d) Mewariskan
organ manusia (setelah meninggal dunia) seperti jantung, mata.
e) Mewariskan
seluruh badannya kepada laboratorium anatomi
f) Menentukan untuk dikremasi
setelah meninggal dunia
Dokter mempunyai peranan yang
penting dalam masalah transplantasi. Hal ini menjadi kewajiban para dokter
untuk menjelaskan segala sesuatu tentang transplantasi ini secara jelas, baik
kepada penerima maupun kepada calon donor. Jangka waktu kesembuhan donor perlu
pula dijelaskan. Jika perlu penjelasan ini dilakukan dengan didampingi
penasehat hukum yang bersangkutan (untuk mereka yang mempunyainya). Sehingga
transaksi antara penerima dan donor tidak hanya mengutamakan pada masalah
pembayaran saja. Dampak psikologis terhadap donor perlu pula diantisipasi dan
ditangani secara bijaksana dan professional mungkin.
Oleh karena itu, perlu dilarang:
a) donor menunjuk
sendiri resipien yang akan menerima jaringan janinnya
b) penjualan jaringan janin, dan
Permintaan tanda setuju (consent) untuk menggunakan
janinnya sebagai bahan transplantasi sebelum keputusan akhir untuk menggugurkan
diambil oleh wanita yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya secara moral praktek Euthanasia tidak
dapat dibenarkan baik alasan penderitaan maupun ekonomi sebab manusia adalah
makhluk mulia yang mampu menahan derita yang lebih penting daripada materi dan
pada dasarnya Kode Etik kedokteran Indonesia melarang adanya tindakan
Euthanasia Aktif karena dokter adalah orang yang bertugas menyelamatkan atau
memelihara kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan bukan bertindak
sebagai penentu kehidupan dan bukan hanya pada dokter saja, pasien dan keluarga
juga tidak diperkenankan untuk melakukan Euthanasia Aktif karena “kematian
adalah hak Tuhan”.
Begitu pula dengan tindakan transplantasi organ,
etika dalam tindakan pelaksanaannya harus dijunjung tinggi, mulai dari etika
dari sang donor, resipien, pelaksana donor maupun orang-orang lain yang ikut
terlibat. Sangat jelas dalam peraturan perudang-undangan bahwa tidak dibenarkan
atau dilarang keras menjual belikan organ atau bagian tubuh dari manusia, karena
bagaimanpun juga manusia adalah mahluk ciptaan yang paling mulia. Etika
tranplastasi organ sangat tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dijelaskan
yang menyebutkan bahwa Larangan transplantasi untuk tujuan komersial,
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk tujuan komersial.
DAFTAR
PUSTAKA
Borong, Dr. Robert.
P. Kapita Selekta Bioetik-Perspektif Kristiani. Bandung.
Karyadi, Petrus
Yoyo. 2007. Euthanasia dalam Perspektif Hak. Jurnal Info Media.
Yuantoro, F.A. Eka,
MSF. 2001. Asasi Manusia. Media Persindo: Yogyakarta.
……..2005.
Euthanasia. Obor: Jakarta.
…….. 1999. Etika kedokteran dan hukum
kesehatan. EGC: Jakarta.
http://www.percikaniman.org/tanya_jawab_aam.php?cID=11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar