Minggu, 13 Juli 2014

Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan atau kebidanan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dan kebidanan dalam mengembangkan profesionalisme selama memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi.
            Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat atau bidan akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.
B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil rumusan masalah dengan mengangkat masalah tentang “Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan”
C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah Agar mahasiswa mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam praktek kebidanan



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengantar Ilmu Hukum
Ilmu hukum adalah kumpulan pengetahuan tentang hukum yang telah deibuat sistematiknya. Filosofis dasarnya adalah bahwa manusia adalah mahluk hidup yang mempunyai rasa, karsa, dan karya, akal dan perasaan.
1. Sumber hukum formal adalah :
a.    Perundang – undangan
b.    Kebiasaan
c.    Traktat ( perjanjian Internasional public )
d.   Yurisprudensi
e.    Doktrin ( pendapat pakar )
2. Macam – macam hukum adalah :
a.    Hukum perdata dan hukum public
b.    Hukum material dan hukum formal
c.    Hukum perdata,
d.   Hukum pidanan,
e.    Hukum tatanegara/tata usaha Negara,
f.     Hukum internasional
g.    Hukum adat
B. Pengantar Hukum Kesehatan
1. Kelompok masalah yang menyangkut asas umum, meliputi hak menentukan diri sendiri, hak atas pemeliharaan kesehatan , fungsi undang – undang dan hukum dan pemeliharaan kesehataan , hubungan hukum kesehatan dengan etika kesehatan.
2. Kelompok masalah tentang kedudukan indifidu dalam hukum kesehatan, antara lain : hak atas tubuh sendiri, kedudukan material tubuh, hak atas kehidupan, genetika, reproduksi, status hukum hasil pembuahan, Perawatan yang dipaksakan dalam RS.
3. Kelompok masalah dengan aspek- aspek pidana antara lain : tanggung jawab pidana, tindakan medis dan hukum pidana, hak untuk tidak membuka rahasia.
4. Kelompok masalah dakam pelayanan kuratif, antara lain kewajiban memberika pertolongan medis, menjaga mutu, eksperimen – eksperimen medis, batas – batas pemberiaan pertolongan medis, penyakit menular. Dokumentasi medis dan lain – lain.
5. Kelompok tentang pelaksanaan profesi dan kepentingan pihak ketiga antara lain kesehatan industry, pelaksanaan medis skrining, keterangan medis, saksi ahli, asuransi kesehatan social.
            Hak asasi manusian yang berhubungan dengan kesehatan manusia dimulai dari tiga hak asasi, yaitu :
1.    The right to health care ( Hak untuk mendapat pelanyanan kesehatan )
2.    The right to self dateminartion ( hak untuk menentukan nasib sendiri )
3.    The righ toinformation ( Hak untuk mendapat informasi )
            Etika dan hukum berkait dengan ruang lingkup masing –masing, dengan jalur yang berbeda. Adapun gambaran jalur etik dan hukum dapat dideskripsikan :
1.    Etika profesi bersifat interen (self inposed regulation), bertujuan menjaga mutu profesi dan memelihara harkat dan martabat profesi (tidak berlaku umum) sanksi ditetapkan oleh organisasi.
2.    Majelis disiplin bersifat sebagai hukum public ( ada unsur pemerintah). Bertujuan memelihara tata tertib anggota profesi ( tidak berlaku bagi bukananggota profesi) sanksi teguran, scorsing, pemecatan ( ditetapkan pemerintah).
3.    Hukum bersifat berlaku umum ( sifat memaksa,  bertujuan menjaga ketertiban masnyarakat luas ( termaksud anggota profesi ), dengan sanksi hukum perdata atau hukum perdanan ).

C. Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan
            Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang penting dan di tuntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang dilakukuannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan.
            Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang dilandasi kemampuan berfikir logis dan sitematis serta bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.
            Praktek kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus-menerus ditingkatkan mutunya melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
2. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan
3. Akreditasi
4. Sertifikasi
5. Registrasi
6. Uji kompetensi
7. Lisensi
            Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan praktik bidan
2. Standar Pelayanan Kebidanan
3. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5.  Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang oraganisasi dan tata kerja Depkes
6. UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi
D. Kode Etik Hukum Kebidanan
            Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
            Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
            Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. Malpraktek Dibidang Hukum
               Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
              Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
a)  Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
•   Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
•   Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b)  Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
•   Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
•   Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
•   Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
• Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
•   Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
•   Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
•   Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
2)  Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
     Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
•   Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
•   Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3)  Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
•   Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
•   Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
•   Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
•   Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
               Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
     Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2)  Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3)  Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4)  Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
          Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
     Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2. Landasan Hukum Wewenang Bidan
              Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a. Syarat Praktik Profesional Bidan
1)  Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2)  Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3)  Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4)  Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5)  Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
b.  Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
     Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1)  Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.
2)  Pasal 15 :
a)  Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b)  Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c)  Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3) Pasal 16 :
a) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
•   Penyuluhan dan konseling
•   Pemeriksaan fisik
•   Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
•   Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
•   Pertolongan persalinan normal
•   Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
•   Pelayanan ibu nifas normal
•   Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
•   Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b) Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
-    Pemeriksaan bayi baru lahir
-    Perawatan tali pusat
-    Perawatan bayi
-    Resusitasi pada bayi baru lahir
-    Pemantauan tumbuh kembang anak
-    Pemberian imunisasi
-    Pemberian penyuluhan
4)  Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16, berwenang untuk :
-    Memberikan imunisasi
-    Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
-    Mengeluarkan plasenta secara secara manual
-    Bimbingan senam hamil
-    Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
-    Episiotomi
-    Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
-    Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
-    Pemberian infuse
-    Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
-    Kompresi bimanual
-    Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
-    Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
-    Pengendalian anemi
-    Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
-    Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
-    Penanganan hipotermi
-    Pemberian minum dengan sonde/pipet
-    Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
-    Pemberian surat kelahiran dan kematian.


c. Standar Kompetensi Kebidanan
          Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 15
a)    Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
b)   Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
       Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
       Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
       Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
       Pada sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80
•   Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
            Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
              Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
              Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung, kelalaian memakai tolak ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
     Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).


2. Cara tidak langsung
     Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1) Contractual liability
     Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2)  Vicarius liability
     Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3)  Liability in tort
     Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3.  Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
     Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1)  Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2)  Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3)  Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4)  Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5)  Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6)  Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
     Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
          Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
               Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
              Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
              Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
              Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
E. Legislasi Pelayanan Kebidanan
                        Legislasi adalah proses pembuatan UU atau penyempurnaan perangkat hukum yang sudah ada melalui serangkaian sertifikasi (pengaturan kompetensi), registrasi (pengaturan kemenangan) dan lisensi (pengaturan penyelenggaraan kewenangan),
            Tujuan legislasi adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang telah diberikan. Bentuk perlindungan tersebut antara lain
1. Mempertahankan kualitas pelayanan
2. Memberikan kewenangan
3. Menjamin perlindungan hukum
4. Meningkatkan profesionalisme
            Macam pelayanan legislasi adalah:
1.  Menjamin perlindungan pada masyarakat pengguna jasa profesi dan profesi sendiri
2. Legislasi sangat berperan dalam pemberian pelayanan professional
            Bidan dikatakan profesional, mematuhi beberapa criteria sebagai berikut:
1. Mandiri
2. Peningkatan kompetensi
3. Praktek berdasrkan evidence based
4. Penggunaan berbagai sumber informasi
            Masyarakat membutuhkan pelayanan yang aman dan berkualitas, serta butuh perlindungan sebagai pengguna jasa profesi. Ada beberapa hal yang menjadi sumber ketidak puasan pasien atau masyarakat yaitu:
1. Pelasyanan yang aman
2. Sikap petugas kurang baik
3. Komunikasi yang kurang
4. Kesalahan prosedur
5. Saran kurang baik
6.  Tidak adanya penjelasan atau bimbingan atau informasi atau pendidikan kesehatan.
F. Aspek Hukum Informed Consent
            Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan/keterangan/ informasi) dan concent (memberikan persetujuan/ mengizinkan. Informed concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.
Dalam PERMENES no. 585 tahun 1989 (pasal 1), Informed concent ditafsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
            Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dan lain-lain. Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien.
            Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3.  Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
            Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
            Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).









BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan pelanyanan kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah bersinggunan antara pelanyanan kebidanan, etika dan hukum atau terdapat “grey area”. Sebagaimana di ketahui bahwa bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan. Sebelum menginjak kehal – hal yang lebih jauh, kita perlu memahami beberapa konsep dasar dibawah ini :
1.    Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan Bidan yang diakui Negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di Negara itu. Dia harus mampu memberikan supervise, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hmil, persalinan dan masa pasca persalinan, memimpin persalianan atas tanggung jawab sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.
2.    Pekerjaan itu termaksud pendidikan antenatal, dan persiapan untuk menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu dari ginekologi, KB dan Asuhan anak, Rumah Perawatan, dan tempat – tempat pelayanan lainnya (ICM 1990)
B. Saran
            Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar, melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap hak-hak pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan kebidanan.



DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Carol Taylor, Carol Lillies, Priscilla Le Mone. 1997. Fundamental Of Nursing Care. Third Edition. Lippicot Philadelpia: New York.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Marimba, Hanum. 2008. Etika dan Kode Etik Profesi Kebidanan. Mitra Cendikia Press: Yogyakarta.
Wahyuningsih, Heni Puji. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Fitramaya: Yogyakarta.
http://bidankita.com. Diakses 14 April 2013
www.panglimaw1.blogspot.com. Diakses 14 April 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar