BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan pengetahuan dan
teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang serta meningkatnya
pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap meningkatnya tuntutan
masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan atau
kebidanan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dan kebidanan
dalam mengembangkan profesionalisme selama memberi pelayanan yang berkualitas.
Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan
basis pada etik dan moral yang tinggi.
Sikap etis profesional yang kokoh
dari setiap perawat atau bidan akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk
penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang
muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta
penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan
asuhan keperawatan atau kebidanan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi
pertimbangan dan dihormati.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka
penulis dapat mengambil rumusan masalah dengan mengangkat masalah tentang
“Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan”
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah Agar mahasiswa mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang
aspek hukum dalam praktek kebidanan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar Ilmu Hukum
Ilmu hukum
adalah kumpulan pengetahuan tentang hukum yang telah deibuat sistematiknya.
Filosofis dasarnya adalah bahwa manusia adalah mahluk hidup yang mempunyai
rasa, karsa, dan karya, akal dan perasaan.
1. Sumber
hukum formal adalah :
a. Perundang – undangan
b. Kebiasaan
c. Traktat ( perjanjian Internasional public
)
d. Yurisprudensi
e. Doktrin ( pendapat pakar )
2. Macam
– macam hukum adalah :
a. Hukum perdata dan hukum public
b. Hukum material dan hukum formal
c. Hukum perdata,
d. Hukum pidanan,
e. Hukum tatanegara/tata usaha Negara,
f. Hukum internasional
B. Pengantar Hukum Kesehatan
1. Kelompok masalah yang menyangkut
asas umum, meliputi hak menentukan diri sendiri, hak atas pemeliharaan
kesehatan , fungsi undang – undang dan hukum dan pemeliharaan kesehataan ,
hubungan hukum kesehatan dengan etika kesehatan.
2. Kelompok masalah tentang
kedudukan indifidu dalam hukum kesehatan, antara lain : hak atas tubuh sendiri,
kedudukan material tubuh, hak atas kehidupan, genetika, reproduksi, status hukum
hasil pembuahan, Perawatan yang dipaksakan dalam RS.
3. Kelompok masalah dengan aspek-
aspek pidana antara lain : tanggung jawab pidana, tindakan medis dan hukum
pidana, hak untuk tidak membuka rahasia.
4. Kelompok masalah dakam pelayanan
kuratif, antara lain kewajiban memberika pertolongan medis, menjaga mutu,
eksperimen – eksperimen medis, batas – batas pemberiaan pertolongan medis,
penyakit menular. Dokumentasi medis dan lain – lain.
5. Kelompok tentang pelaksanaan
profesi dan kepentingan pihak ketiga antara lain kesehatan industry,
pelaksanaan medis skrining, keterangan medis, saksi ahli, asuransi kesehatan
social.
Hak asasi manusian yang berhubungan
dengan kesehatan manusia dimulai dari tiga hak asasi, yaitu :
1. The right to health care ( Hak untuk
mendapat pelanyanan kesehatan )
2. The right to self dateminartion (
hak untuk menentukan nasib sendiri )
3. The righ toinformation ( Hak untuk
mendapat informasi )
Etika dan hukum berkait dengan ruang
lingkup masing –masing, dengan jalur yang berbeda. Adapun gambaran jalur etik dan
hukum dapat dideskripsikan :
1. Etika profesi bersifat interen (self
inposed regulation), bertujuan menjaga mutu profesi dan memelihara harkat dan
martabat profesi (tidak berlaku umum) sanksi ditetapkan oleh organisasi.
2. Majelis disiplin bersifat sebagai hukum
public ( ada unsur pemerintah). Bertujuan memelihara tata tertib anggota
profesi ( tidak berlaku bagi bukananggota profesi) sanksi teguran, scorsing,
pemecatan ( ditetapkan pemerintah).
3. Hukum bersifat berlaku umum ( sifat
memaksa, bertujuan menjaga ketertiban masnyarakat luas ( termaksud
anggota profesi ), dengan sanksi hukum perdata atau hukum perdanan ).
C. Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan
Akuntabilitas bidan dalam praktik
kebidanan merupakan suatu hal yang penting dan di tuntut dari suatu profesi,
terutama profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah
pertanggung jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan
yang dilakukuannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus
berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability diperkuat
dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas wewenang profesi yang
bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan
bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak
secara profesional yang dilandasi kemampuan berfikir logis dan sitematis serta
bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.
Praktek kebidanan merupakan inti
dari berbagai kegiatan bidan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus
terus-menerus ditingkatkan mutunya melalui:
1.
Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
2.
Pengembangan ilmu dan teknologi dalam
kebidanan
3.
Akreditasi
4.
Sertifikasi
5.
Registrasi
6.
Uji kompetensi
7.
Lisensi
Beberapa dasar dalam otonomi
pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
1.
Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng
registrasi dan praktik bidan
2.
Standar Pelayanan Kebidanan
3.
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan
4.
PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga
kesehatan
5. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang
oraganisasi dan tata kerja Depkes
6.
UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
8.
UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung
dan transplantasi
D.
Kode Etik Hukum Kebidanan
Malpraktek
merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal”
mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di
dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek
sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan
dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal
ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran
normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. Malpraktek
Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical
malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni
Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan
perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu
seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan
dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1)
Criminal malpractice yang bersifat sengaja
(intensional)
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib
Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
•
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik
yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama
sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
•
Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan
terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata
pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP,
tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c)
Pasal 348 KUHP menyatakan:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
•
Ayat (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter,
bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346,
ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam
mana kejahatan dilakukan.
e)
Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
• Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
•
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama lima tahun.
•
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
• Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan
sengaja merusak kesehatan.
•
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh
(recklessness)
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
• Ayat
(l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
• Ayat
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
b) Pasal 349 KUHP
menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut
hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat
kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses
kelahiran.
a) Pasal-pasal 359
sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau
luka-luka berat.
• Pasal
359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
• Pasal
360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
• Pasal
361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan
peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat,
maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
• Pasal
361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan
pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya
di-umumkan.
Pertanggung
jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang
telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4) Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice
dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain
berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui
bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas
kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2. Landasan Hukum Wewenang Bidan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan
tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan
praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan
profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan,
seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a. Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB)
baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan
Praktek Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi
persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan,
obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus
sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman
serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus
menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak
dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan
medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan
wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
b. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik
Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara
lain:
1) Pasal
14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan
yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana,
dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.
2) Pasal
15 :
a) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra
nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa
antara (periode interval).
c) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada
masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3) Pasal 16 :
a) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
• Penyuluhan dan konseling
• Pemeriksaan fisik
• Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
• Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup
ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi
ringan dan anemia ringan.
• Pertolongan persalinan normal
• Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup
letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD)
tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena
inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
• Pelayanan ibu nifas normal
• Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup
retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
• Pelayanan dan pengobatan pada kelainan
ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b) Pelayanan kebidanan
kepada anak meliputi:
- Pemeriksaan bayi baru lahir
- Perawatan tali pusat
- Perawatan bayi
- Resusitasi pada bayi baru lahir
- Pemantauan tumbuh kembang anak
- Pemberian imunisasi
- Pemberian penyuluhan
4) Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16, berwenang untuk :
- Memberikan imunisasi
- Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan
dan nifas
- Mengeluarkan plasenta secara secara manual
- Bimbingan senam hamil
- Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
- Episiotomi
- Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan
lahir sampai tingkat 2
- Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4
cm
- Pemberian infuse
- Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
- Kompresi bimanual
- Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi
kedua dan seterusnya
- Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar
panggul
- Pengendalian anemi
- Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air
susu ibu
- Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
- Penanganan hipotermi
- Pemberian minum dengan sonde/pipet
- Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran
,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
- Pemberian surat kelahiran dan kematian.
c. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang
berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No.
23 Th 1992, yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 15
a) Ayat
(1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan
atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
b) Ayat
(2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan :
• Berdasarkan
indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
• Oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
• Dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
• Pada
sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80
• Ayat
(1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu
hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal
malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi
unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act)
merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan
sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka
yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang
dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice
pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung, kelalaian memakai tolak ukur
adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban).
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty
(penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang
dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat
(pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil
layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan
apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan
tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung
jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari
pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya
kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan
atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama
sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan
bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus
bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi
teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1) Contractual
liability
Tanggung
gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2) Vicarius
liability
Vicarius
liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian
pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3) Liability
in tort
Liability
in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan
hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain,
akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan
dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang
lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan
Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan
karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu
bertindak hati-hati, yakni:
1) Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan
keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2) Sebelum melakukan intervensi agar selalu
dilakukan informed consent.
3) Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam
rekam medis.
4) Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan
kepada senior atau dokter.
5) Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
6) Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien,
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah
bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan
criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
Dengan mengajukan
bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar
atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik
(risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan
menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan
diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice
dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah
mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang
mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah
mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res
ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan
kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan
yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal
inilah yang menguntungkan bidan.
E. Legislasi Pelayanan Kebidanan
Legislasi adalah proses
pembuatan UU atau penyempurnaan perangkat hukum yang sudah ada melalui
serangkaian sertifikasi (pengaturan kompetensi), registrasi (pengaturan
kemenangan) dan lisensi (pengaturan penyelenggaraan kewenangan),
Tujuan legislasi adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang telah diberikan. Bentuk
perlindungan tersebut antara lain
1.
Mempertahankan kualitas pelayanan
2.
Memberikan kewenangan
3.
Menjamin perlindungan hukum
4.
Meningkatkan profesionalisme
Macam pelayanan legislasi adalah:
1. Menjamin perlindungan pada masyarakat pengguna
jasa profesi dan profesi sendiri
2.
Legislasi sangat berperan dalam pemberian
pelayanan professional
Bidan dikatakan profesional,
mematuhi beberapa criteria sebagai berikut:
1.
Mandiri
2.
Peningkatan kompetensi
3.
Praktek berdasrkan evidence based
4.
Penggunaan berbagai sumber informasi
Masyarakat membutuhkan pelayanan
yang aman dan berkualitas, serta butuh perlindungan sebagai pengguna jasa
profesi. Ada beberapa hal yang menjadi sumber ketidak puasan pasien atau
masyarakat yaitu:
1.
Pelasyanan yang aman
2.
Sikap petugas kurang baik
3.
Komunikasi yang kurang
4.
Kesalahan prosedur
5.
Saran kurang baik
6. Tidak adanya penjelasan atau bimbingan atau
informasi atau pendidikan kesehatan.
F. Aspek Hukum Informed Consent
Informed
concent berasal dari dua kata, yaitu informed
(telah mendapat penjelasan/keterangan/ informasi) dan concent (memberikan persetujuan/ mengizinkan. Informed concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapatkan informasi.
Dalam
PERMENES no. 585 tahun 1989 (pasal 1), Informed
concent ditafsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan
yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
Ikhwal diperlukannya izin pasien,
adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat
diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar
kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium
penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien
dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dan lain-lain. Selain itu tindakan
medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti
oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah
pasien.
Informed Consent hakikatnya adalah
hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan
dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan
Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya
suatu perjanjjian yaitu:
1.
Adanya kesepakatan antar pihak, bebas
dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2.
Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan,
dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang
masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya
kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan pasien ), maka
berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak
tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien
sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan
terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus
diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum
perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1.
Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2.
Tidak berupaya menekan ( Force ).
3.
Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum kesehatan yang terkait dengan
etika profesi dan pelanyanan kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah
bersinggunan antara pelanyanan kebidanan, etika dan hukum atau terdapat “grey
area”. Sebagaimana di ketahui bahwa bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan
yang menyelenggarakan upaya kesehatan. Sebelum menginjak kehal – hal yang lebih
jauh, kita perlu memahami beberapa konsep dasar dibawah ini :
1. Bidan adalah seorang yang telah
menyelesaikan Program Pendidikan Bidan yang diakui Negara serta memperoleh
kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di Negara itu.
Dia harus mampu memberikan supervise, asuhan dan memberikan nasehat yang
dibutuhkan kepada wanita selama masa hmil, persalinan dan masa pasca
persalinan, memimpin persalianan atas tanggung jawab sendiri serta asuhan pada
bayi baru lahir dan anak.
2. Pekerjaan itu termaksud pendidikan
antenatal, dan persiapan untuk menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu
dari ginekologi, KB dan Asuhan anak, Rumah Perawatan, dan tempat – tempat
pelayanan lainnya (ICM 1990)
B. Saran
Sikap etis profesional berarti
bekerja sesuai dengan standar, melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan
dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap hak-hak
pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan kebidanan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum
Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Carol
Taylor, Carol Lillies, Priscilla Le Mone. 1997. Fundamental Of Nursing Care.
Third Edition. Lippicot Philadelpia: New York.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Marimba,
Hanum. 2008. Etika dan Kode Etik Profesi Kebidanan. Mitra Cendikia Press: Yogyakarta.
Wahyuningsih,
Heni Puji. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Fitramaya: Yogyakarta.
http://dinopawesambon.blogspot.com/2011/07/hukum-kesehatan-dalam-kebidanan.html. Diakses
14 April 201311
www.panglimaw1.blogspot.com.
Diakses 14 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar