Rabu, 09 Juli 2014

ASKEP PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

KONSEP MEDIS PTSD

A. Defenisi
            Beberapa sumber mendefinisikan Post Traumatic Stress Disorder sebagai berikut: Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American Psychological Association, 2004).   
            Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).
B. Etiolgi
a. Faktor-faktor penyebab PTSD
-    Kejadian traumatic
-    Trauma masa kecil
-    Trauma fisik
-   Prosedur medikasi
-   Jenis kepribadian introvert
-   Lingkungan kerja
-   Tingkat spiritual
-   Tingkat pendidikan
-    Pengalaman
b. Faktor presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan .
c. Faktor Psikodinamika:
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsive tidak terkendali.
d. Biologis
     Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.
e. Dinamika Keluarga
     Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
f. Faktor psikologi
                 Classical dan operant conditioning  dapat diimplikasikan pada perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikalmenimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis ( fight or flight response).
                 Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia melewatitempat kejadian tersebut.
                 Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil.
                 Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak.
g. Faktor sosial
     Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.
C. Gejala PTSD
            Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
·      Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience). Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala  flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
·      Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadaps emua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
·      Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis
D. Fase-fase PTSD
            Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
a.  Fase kritis
     Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
b.  Fase setelah kritis
     Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.
c.  Fase stressor
     Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”.
                 Periode bencana menurut Rice (1999):
a.  Periode impak à hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu berlangsung singkat.
b.  Periode penyejukan suasana (Recoil period) à berlangsung beberapa hari selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang hilang.
c.  Periode post traumatic (Recovery period) à berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami.
D. Patofisiologi PTSD
            Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
            Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial (gambar 1) mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir.  Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight . Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
            Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.
E. Dampak PTSD
            Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial.
Gejala gangguan fisik:
-    pusing,
-    gangguan pencernaan,
-    sesak napas,
-    tidak bisa tidur,
-    kehilangan selera makan,
-   impotensi, dan sejenisnya.
Gangguan kognitif:
-   gangguan pikiran seperti disorientasi,
-   mengingkari kenyataan,
-   linglung,
-   melamun berkepanjangan,
-   lupa,
-   terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,
-   tidak fokus dan tidak konsentrasi.
-   tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana,
-   tidak mampu mengambil keputusan.
Gangguan emosi :
-    halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan aktif yang dini),
-   mimpi buruk,
-   marah,
-    merasa bersalah,
-   malu,
-   kesedihan yang berlarut-larut,
-   kecemasan dan ketakutan.
Gangguan perilaku :
-    menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
Gangguan sosial:
-    memisahkan diri dari lingkungan,
-   menyepi,
-   agresif,
-   prasangka,
-   konflik dengan lingkungan,
-   merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.
F.             Kriteria diagnosis untuk PTSD
·    Kriteria untuk diagnosis menentukan faktor tentang persepsi korban dari trauma serta durasi dan dampak terkait gejala
·    Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala harus bertahan setidaknya satu bulan dan signifikan harus mengganggu aktivitas normal
·    Pada orang yang telah selamat dari peristiwa traumatis, sindrom kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut "gangguan stres akut", ini kondisi membutuhkan tiga atau lebih disosiatif gejala selain gejala persisten terkait dengan PTSD. Gejala
·    PTSD yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut.
            Diagnostik ditegakkan berdasar Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Revisi atau DSM IV-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang.
1.  Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu:
-    orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cidera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain,
-    respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak, ini bukan oleh perilaku tidak teratur atau gelisah.
2.  Peristiwa traumatik yang terus-menerus muncul kembali  melalui  satu (atau lebih) dari cara berikut:
a.  Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminyadan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
b.  Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya(yang mencemaskan)
c.  kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya)
d.  Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yangmengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwatrauma)
3.  Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma danmematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum traumamasih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
a.  Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma
b.  Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapatmembangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya
c.  Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yangdialaminya
d.  Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang
e.  Merasa terasing dari orang di sekitarnya
f.   Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
g.  Perasaan bahwa masa depannya suram
4.  Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di bawah ini:
a.  Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
b.  Sulit berkonsentrasi
c.  Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
d.  Hypervigilance(kewaspadaan yang berlebihan)
e.  Reaksi kaget yang berlebihan
5.  Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
6.  Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguanfungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnya.
G. Penatalaksanaan Untuk PTSD
1.  Farmakologi
a.  Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
     SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan.
      Obat golongan SSRIs antara lain:
·    Fluoxetine (Prozac) à 20mg-60mg sehari.
·   Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari
·   Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari
·   Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari
     Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi PTSD hanya sertraline dan paroxetine.
b.  Mood stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dangejala impulsif.
-    Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
-    Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
c.  Beta adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat  inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
d.  Antidepresan
     Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk mengubah neurotransmisi serotonin.
e.  Atipikal Antipsikotik
f.   Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada pasien dengan psikotik sebagai komorbidnya.  Atipikal Antipsikotik tidak dianjurkan untuk monoterapi pada PTSD.
g.  Benzodiazepin
     Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada system saraf.
2.  Non Farmakologi
a.  Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
1)           Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
a) Exposure in the imagination
     Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
b) Exposure in reality
     Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
2) Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis.
3) Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat.
b.  Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b).
c.  EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
     EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori
d.  Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
e.  Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).
f.   Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
g.  Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
h.    Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilai-nilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis.
i.   Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.
H. Prognosis PTSD
            PTSD dapat terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang menerima perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada pasien yang tidak menerima pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64 months. Lebih  dari sepertiga pasien yang memiliki PTSD pernah sepenuhnya recover. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik termasuk keterlibatan cepat pengobatan dini, dukungan sosial yang berkelanjutan, menghindari retraumatization, positif premorbid fungsi, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lainnya atau substansi
            Data dari National Comorbidity Survey menunjukkan bahwa setidaknya tambahan satu gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen pria dan 79,0 persen wanita yang memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria dan 44 persen wanita yang telah PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih kejiwaan diagnosis. Wanita yang telah PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk mengembangkan depresi mayor  dan 4,5 kali lebih mungkin mengembangkan mania sebagai perempuan yang tidak memiliki PTSD.Men yang memiliki PTSD 6,9 kali lebih mungkin mengembangkan depresi dan 10,4 kali lebih mungkin untuk mengembangkan mania sebagai laki-laki yang tidak memiliki PTSD. Lebih dari satu setengah pria dengan PTSD juga memiliki masalah alkohol komorbid, dan signifikan sebagian pria dan wanita yang memiliki PTSD memiliki penggunaan zat terlarang-komorbid problem. Pada pasien yang memiliki PTSD, fobia cenderung lebih besar dari yang umum gangguan kecemasan atau gangguan panik, yang risiko hampir semua gangguan kecemasan meningkat nyata dalam . Tingkat percobaan bunuh diri pada pasien yang memiliki PTSD diperkirakan 20 percent.



ASUHAN KEPERAWATAN KASUS PTSD

A. Pengkajian
1. Identitas:
     nama, tempat tangga lahir, alamat, agama, pekerjaa, status perkawinan, dll.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : cemas/ ansietas
b. pengkajian fisik :
1)      Aktivitas atau istirahat
     -    gangguan tidur
     -   mimpi buruk
     -   hipersomnia
     -   mudah letih
     -   keletihan kronis
2) Sirkulasi
     -    denyut jantung meningkat
     -   palpitasi
     -   tekanan darah meningkat
     -   terasa panas
3) Integritas ego
-    derajat ansietas bervariasi dengan gejal yang berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan
-    gangguan stres akut terjadi 2 hari – 4 minggu dalam 4 minggu peristiwa traumatik
-    PTSD akut  gejala kurang dari 3 bulan
-    PTSD kronik  gejala lebih dari 3 bulan
-    Melambat  awitan sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatik
-    kesulitan mencari bantuan atau menggerakkan sumber personal (menceritakan pengalaman pada anggota keluarga/teman)
-    perasaan bersalah, tidak berdaya, isolasi
-    perasaan malu terhadap ketidakberdayaan sendiri; demoralisasi
-    perasaan tentang masa depan yang suram atau memendek
4) Neurosensori
-    gangguan kognitif  sulit berkonsentrasi
-   kewaspadaan tinggi
-   ketakutan berlebihan
-   ingatan persisten atau berbicara terus tentang suatu kejadian
-    pengendalian keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang agresif tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci, sakit hati)
-    perubahan perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan, iritabel), tidak mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata, kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi
-   ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motorik
-   Nyeri atau ketidaknyamanan
5) Pernapasan
     -    frekuensi pernapasan meningkat
     -    dispneu
6) Keamanan
     -    marah yang meledak-ledak
     -   perilaku kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain
     -   gagasan bunuh diri
7) Seksualitas
     -    hilangnya gairah
     -    impotensi
     -   ketidakmampuan mencapai orgasme
8) Interaksi sosial
-    menghindari oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan tentang trauma, penurunan responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan emosi/mengasingkan diri dari orang lain
-    hilangnya minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk pekerjaan
-    pembatasan rentang afek, tidak ada respon emosi
B. Diagnosa Keperawatan
1.   Anxietas berhubungan dengan Koping individu tidak efektif
2.   Anxietas berhubungan dengan Tidak efektifnya koping keluarga
3.   Resiko gangguan pesepsi sensorik dan audiotori : Halusinasi berhubungan dengan Ansietas
4.   Resiko gangguan isi fikir : Waham berhubungan dengan Anxietas 
C. Rencana keperawatan
DX
Intervensi
Tujuan
1
Klien dapat menjalin dan membina hubungan saling percaya
·      jadilah pendengar yang hangat dan responsif
·      beri waktu yang cukup pada klien untuk berespon
·      beri dukungan pada klien untuk mengekspresikan perasaannya
·      identifikasi pola prilaku klien atau pendekatan yang dapat menimbulkan perasaan negatif
·      bersama klien mengenali perilaku dan respon sehingga cepat belajar dan berkembang.
·      dorong klien untuk menggunakan relaksasi dalam menurunkan tingkat ansietas
2
Klien dapat mengenal ansietasnya
·  bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya
·  hubungkan perilaku dan perasaannya
·  validasi kesimpulan dan asumsi terhadap klien
·  gunakan pertanyaan terbuka untuk mengalihkan dari topik yang mengancam ke hal yang berkaitan dengan konflik
·  gunakan konsultasi
·  ajarkan klien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri
3
Klien dapat memperluas kesadarannya terhadap perkembangan ansietas
·    bantu klien mernjelaskan situasi dan interaksi yang dapat segera menimbulkan ansietas
·    bersama klien meninjau kembali penilaian klien terhadap stressor yang dirasakan mengancam dan menimbulkan konflik
·    kaitkan pengalaman yang baru terjadi dengan pengalaman masa lalu yang relevan
4
Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif
·   gali cara klien mengurangi ansietas di masa lalu
·   tunjukkan akibat mal adaptif dan destruktif dari respons koping yang digunakan
·   dorong klien untuk menggunakan respons koping adaptif yang dimilikinya
·   bantu klien untuk menyusun kembali tujuan hidup, memodifikasi tujuan, menggunakan sumber dan menggunakan koping yang baru
·   latih klien dengan menggunakan ansietas sedang
·   beri aktivitas fisik untuk menyalurkan energinya
·   libatkan pihak yang berkepentingan sebagai sumber dan dukungan sosial dalam membantu klien menggunakan koping adaptif yang baru




DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J., !998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa : Yasmin Asih. Editor Monica Aster, Jakarta : EGC.
Keliat, Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC
------------------,2000. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC.
Townsend, M. C., 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Alih Bahas Novi Helena. Rditor Monica Ester, Jakarta : EGC.
Rasmun, 2001, Kepwrawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga.  Edisi Pertama, Jakarta : CV, Sagung Seto.
Struart, G.W., S undeen, S.J., 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar