KONSEP MEDIS
PTSD
A. Defenisi
Beberapa
sumber mendefinisikan Post Traumatic Stress Disorder sebagai berikut: Post
Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari
sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak
menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam
(American Psychological Association, 2004).
Post-traumatic
stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari
peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa
tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).
B. Etiolgi
a. Faktor-faktor penyebab
PTSD
- Kejadian
traumatic
- Trauma
masa kecil
- Trauma
fisik
- Prosedur medikasi
- Jenis kepribadian introvert
- Lingkungan kerja
- Tingkat spiritual
- Tingkat pendidikan
- Pengalaman
b. Faktor
presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan .
c. Faktor
Psikodinamika:
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman
terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat
yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk
perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan
menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatic tersebut. Id
dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsive tidak terkendali.
d. Biologis
Dari hasil
penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin
yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus.
Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat
belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren
naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat
menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan
memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik
lain.
e. Dinamika Keluarga
Tipe
pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang
signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah
rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan
prediktor perkembangan PTSD.
f. Faktor psikologi
Classical
dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikalmenimbulkan emosi yang
negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat
aktivasi dari sistem saraf simpatis ( fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada
saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya
trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan
respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan
mobil yang serius akan timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi
setiap kali dia melewatitempat kejadian tersebut.
Operant
conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang
dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan
diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka iaakan
berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil.
Modelling
: merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam
perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua terhadap pengalaman
traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak.
g. Faktor sosial
Dukungan
sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko
perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.
C. Gejala
PTSD
Tiga
kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
·
Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic
(re-eksperience). Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami
mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah
peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang
kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang
berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
·
Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang
diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang
yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau
menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat
terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya
ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk
merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas,
tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
Selain itu, juga kehilangan minat terhadaps emua hal, perasaan terasing dari
orang lain, dan emosi yang dangkal.
·
Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini
meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada
berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas
fisiologis
D. Fase-fase
PTSD
Fase-fase
keadaan mental pasca bencana:
a. Fase kritis
Fase dimana
terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama
kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini
kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh
diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai
gejala psikotik.
b. Fase setelah
kritis
Fase dimana
telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan,
umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini
telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma
akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang
lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman
terdahulunya.
c. Fase stressor
Fase dimana
terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur
hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”.
Periode
bencana menurut Rice (1999):
a. Periode impak à hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada
periode ini, korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang
dialami. Periode ini selalu berlangsung singkat.
b. Periode penyejukan suasana (Recoil period) à berlangsung beberapa
hari selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai
merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka
tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti harta
benda mereka yang hilang.
c. Periode post traumatic (Recovery
period) à berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini
berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang
terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang
mereka alami.
D. Patofisiologi
PTSD
Beberapa
penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD,
ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut
untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin
menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai
struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan
nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan
hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan
(frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini,
walaupun begitu pada penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian
ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
Amigdala
menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon
emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon
stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial (gambar 1)
mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika
kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan
respon fight or flight . Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,denyut jantung, glikogenolisis.
Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan memulai proses
inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol.
Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi
stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada
korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi
(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan
dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan
terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol
rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi
penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.
E. Dampak
PTSD
Gangguan
stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik,
kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial.
Gejala gangguan fisik:
- pusing,
- gangguan
pencernaan,
- sesak
napas,
- tidak
bisa tidur,
- kehilangan
selera makan,
- impotensi, dan sejenisnya.
Gangguan kognitif:
- gangguan pikiran seperti
disorientasi,
- mengingkari kenyataan,
- linglung,
- melamun berkepanjangan,
- lupa,
- terus menerus dibayangi ingatan yang
tak diinginkan,
- tidak fokus dan tidak konsentrasi.
- tidak mampu menganalisa dan
merencanakan hal-hal yang sederhana,
- tidak mampu mengambil keputusan.
Gangguan emosi :
- halusinasi
dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan
aktif yang dini),
- mimpi buruk,
- marah,
- merasa
bersalah,
- malu,
- kesedihan yang berlarut-larut,
- kecemasan dan ketakutan.
Gangguan perilaku :
- menurunnya
aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam
dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
Gangguan sosial:
- memisahkan
diri dari lingkungan,
- menyepi,
- agresif,
- prasangka,
- konflik dengan lingkungan,
- merasa ditolak atau sebaliknya
sangat dominan.
F. Kriteria diagnosis untuk PTSD
· Kriteria
untuk diagnosis menentukan faktor tentang persepsi korban dari trauma serta
durasi dan dampak terkait gejala
· Sebelum
diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala harus bertahan setidaknya satu bulan dan
signifikan harus mengganggu aktivitas normal
· Pada
orang yang telah selamat dari peristiwa traumatis, sindrom kecemasan yang
berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut "gangguan stres
akut", ini kondisi membutuhkan tiga atau lebih disosiatif gejala selain
gejala persisten terkait dengan PTSD. Gejala
· PTSD
yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut.
Diagnostik
ditegakkan berdasar Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasar
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Revisi atau DSM
IV-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang.
1. Orang yang
telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari ciri berikut
ini dapat ditemukan, yaitu:
- orang
yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cidera yang serius atau ancaman
kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain,
- respon
berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui
perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak, ini bukan oleh
perilaku tidak teratur atau gelisah.
2. Peristiwa
traumatik yang terus-menerus muncul kembali melalui satu
(atau lebih) dari cara berikut:
a. Teringat
kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminyadan bersifat mengganggu
(bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
b. Mimpi buruk
yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya(yang mencemaskan)
c. kilas balik
trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya terjadi kembali, hal ini
bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya)
d. Kecemasan
psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yangmengingatkan terhadap kejadian
trauma (kenangan akan peristiwatrauma)
3. Menghindari
secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma danmematikan perasaan/
tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum traumamasih berespon). Gejala ini
meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
a. Kemampuan
untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan
kejadian trauma
b. Kemampuan
menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapatmembangkitkan kembali kenangan
akan trauma yang dialaminya
c. Ketidakmampuan
mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yangdialaminya
d. Ketertarikan
dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang
e. Merasa
terasing dari orang di sekitarnya
f. Terbatasnya
rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
g. Perasaan
bahwa masa depannya suram
4. Gejala
hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di
bawah ini:
a. Sulit untuk
memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
b. Sulit
berkonsentrasi
c. Mudah kesal
dan meledak-ledak emosinya
d. Hypervigilance(kewaspadaan
yang berlebihan)
e. Reaksi
kaget yang berlebihan
5. Durasi dari
gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
6. Gangguan/
gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguanfungsional dalam
berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnya.
G. Penatalaksanaan
Untuk PTSD
1. Farmakologi
a. Selective seotonin reuptak
inhibitors (SSRIs)
SSRIs
merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food
and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku
menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat
ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk
regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini
meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin
diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug
pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan.
Obat golongan SSRIs antara
lain:
· Fluoxetine
(Prozac) à 20mg-60mg sehari.
· Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari
· Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari
· Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari
Diantara
obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi PTSD hanya
sertraline dan paroxetine.
b. Mood
stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal
yang meninggi dangejala impulsif.
- Dosis
Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu
dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30
mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
- Dosis
valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial dan
kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
c. Beta
adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan ini yakni,
Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal.
Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
d. Antidepresan
Bekerja
melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk
mengubah neurotransmisi serotonin.
e. Atipikal
Antipsikotik
f. Bertindak
sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada pasien dengan
psikotik sebagai komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak dianjurkan
untuk monoterapi pada PTSD.
g. Benzodiazepin
Bekerja
langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada system saraf.
2. Non
Farmakologi
a. Terapi
perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
1) Exposure
therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan
mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami dengan cara yang
aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana
peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan
PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
a) Exposure in
the imagination
Terapis
bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail
kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk
menceritakannya.
b) Exposure in
reality
Terapis
membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang
disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
2) Kognitif
restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk.
Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi.
Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan
mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara
yang realistis.
3) Stress
inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD
dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti
restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka
dengan cara yang sehat.
b. Cognitive
therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional
yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang
korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati.
Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak
rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik
untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b).
c. EMDR (Eye
Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah
sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di
dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus
kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi,
sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan
memori
d. Anxiety
management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation
training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing
retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan,
santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan
sakit kepala,
3) positive
thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan
pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal
yang membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness
training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought
stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
e. Terapi
bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan
PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini
dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005b).
f. Terapi
debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun
ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di
dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic
reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus
korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small
gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu,
Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua
wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce
& Condon, 2000).
g. Support
group therapy dan terapi bicara. Dalam support group
therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman
serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses
terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu
dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat
membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu
memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban
pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan
merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
h. Terapi
psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa
nilai-nilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa
traumatis.
i. Terapi
keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat
memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.
H. Prognosis
PTSD
PTSD
dapat terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang
menerima perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada
pasien yang tidak menerima pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64
months. Lebih dari sepertiga pasien yang memiliki PTSD pernah
sepenuhnya recover. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik termasuk
keterlibatan cepat pengobatan dini, dukungan sosial yang berkelanjutan,
menghindari retraumatization, positif premorbid fungsi, dan tidak adanya
gangguan kejiwaan lainnya atau substansi
Data
dari National Comorbidity Survey menunjukkan bahwa setidaknya tambahan satu
gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen pria dan 79,0 persen wanita yang
memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria dan 44 persen wanita yang
telah PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih kejiwaan diagnosis. Wanita
yang telah PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk mengembangkan depresi
mayor dan 4,5 kali lebih mungkin mengembangkan mania sebagai
perempuan yang tidak memiliki PTSD.Men yang memiliki PTSD 6,9 kali lebih
mungkin mengembangkan depresi dan 10,4 kali lebih mungkin untuk mengembangkan
mania sebagai laki-laki yang tidak memiliki PTSD. Lebih dari satu setengah pria
dengan PTSD juga memiliki masalah alkohol komorbid, dan signifikan sebagian
pria dan wanita yang memiliki PTSD memiliki penggunaan zat terlarang-komorbid
problem. Pada pasien yang memiliki PTSD, fobia cenderung lebih besar dari yang
umum gangguan kecemasan atau gangguan panik, yang risiko hampir semua gangguan
kecemasan meningkat nyata dalam . Tingkat percobaan bunuh diri pada pasien yang
memiliki PTSD diperkirakan 20 percent.
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS PTSD
A. Pengkajian
1.
Identitas:
nama, tempat tangga lahir, alamat, agama, pekerjaa,
status perkawinan, dll.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : cemas/ ansietas
b. pengkajian fisik :
1) Aktivitas
atau istirahat
- gangguan tidur
- mimpi
buruk
- hipersomnia
- mudah
letih
- keletihan
kronis
2) Sirkulasi
- denyut jantung meningkat
- palpitasi
- tekanan
darah meningkat
- terasa
panas
3) Integritas ego
- derajat
ansietas bervariasi dengan gejal yang berlangsung berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan
- gangguan
stres akut terjadi 2 hari – 4 minggu dalam 4 minggu peristiwa traumatik
- PTSD
akut gejala kurang dari 3 bulan
- PTSD
kronik gejala lebih dari 3 bulan
- Melambat awitan
sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatik
- kesulitan
mencari bantuan atau menggerakkan sumber personal (menceritakan pengalaman pada
anggota keluarga/teman)
- perasaan
bersalah, tidak berdaya, isolasi
- perasaan
malu terhadap ketidakberdayaan sendiri; demoralisasi
- perasaan
tentang masa depan yang suram atau memendek
4) Neurosensori
- gangguan
kognitif sulit berkonsentrasi
- kewaspadaan tinggi
- ketakutan berlebihan
- ingatan persisten atau berbicara
terus tentang suatu kejadian
- pengendalian
keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang agresif tidak dapat
diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci, sakit hati)
- perubahan
perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan, iritabel), tidak
mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata, kehidupan bisnis
tidak dipedulikan lagi
- ketegangan otot, gemetar,
kegelisahan motorik
- Nyeri atau ketidaknyamanan
5) Pernapasan
- frekuensi pernapasan meningkat
- dispneu
6) Keamanan
- marah yang meledak-ledak
- perilaku
kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain
- gagasan
bunuh diri
7) Seksualitas
- hilangnya gairah
- impotensi
- ketidakmampuan
mencapai orgasme
8) Interaksi
sosial
- menghindari
oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan tentang trauma, penurunan
responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan emosi/mengasingkan diri dari
orang lain
- hilangnya
minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk pekerjaan
- pembatasan
rentang afek, tidak ada respon emosi
B.
Diagnosa Keperawatan
1. Anxietas berhubungan dengan Koping individu tidak efektif
2. Anxietas berhubungan dengan Tidak efektifnya koping keluarga
3. Resiko gangguan pesepsi sensorik dan audiotori : Halusinasi berhubungan
dengan Ansietas
4. Resiko gangguan isi fikir : Waham berhubungan dengan Anxietas
C. Rencana
keperawatan
DX
|
Intervensi
|
|
Tujuan
|
||
1
|
Klien dapat menjalin dan membina hubungan saling
percaya
|
· jadilah pendengar yang hangat dan responsif
· beri waktu yang cukup pada klien untuk berespon
· beri dukungan pada klien untuk mengekspresikan perasaannya
· identifikasi pola prilaku klien atau pendekatan yang dapat menimbulkan
perasaan negatif
· bersama klien mengenali perilaku dan respon sehingga cepat belajar dan
berkembang.
· dorong klien untuk menggunakan relaksasi dalam menurunkan tingkat
ansietas
|
2
|
Klien dapat mengenal ansietasnya
|
· bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya
· hubungkan perilaku dan perasaannya
· validasi kesimpulan dan asumsi terhadap klien
· gunakan pertanyaan terbuka untuk mengalihkan dari topik yang mengancam ke
hal yang berkaitan dengan konflik
· gunakan konsultasi
· ajarkan klien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa
percaya diri
|
3
|
Klien dapat memperluas kesadarannya terhadap
perkembangan ansietas
|
· bantu klien mernjelaskan situasi dan interaksi yang dapat segera
menimbulkan ansietas
· bersama klien meninjau kembali penilaian klien terhadap stressor yang
dirasakan mengancam dan menimbulkan konflik
· kaitkan pengalaman yang baru terjadi dengan pengalaman masa lalu yang
relevan
|
4
|
Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang
adaptif
|
· gali cara klien mengurangi ansietas di masa lalu
· tunjukkan akibat mal adaptif dan destruktif dari respons koping yang
digunakan
· dorong klien untuk menggunakan respons koping adaptif yang dimilikinya
· bantu klien untuk menyusun kembali tujuan hidup, memodifikasi tujuan,
menggunakan sumber dan menggunakan koping yang baru
· latih klien dengan menggunakan ansietas sedang
· beri aktivitas fisik untuk menyalurkan energinya
· libatkan pihak yang berkepentingan sebagai sumber dan dukungan sosial
dalam membantu klien menggunakan koping adaptif yang baru
|
DAFTAR
PUSTAKA
Carpenito, L.J., !998. Buku Saku
Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa : Yasmin Asih. Editor Monica Aster,
Jakarta : EGC.
Keliat, Budi Anna. 1998. Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC
------------------,2000. Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC.
Townsend, M. C., 1998. Buku Saku
Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Alih Bahas Novi
Helena. Rditor Monica Ester, Jakarta : EGC.
Rasmun, 2001, Kepwrawatan
Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga. Edisi
Pertama, Jakarta : CV, Sagung Seto.
Struart, G.W., S undeen, S.J.,
1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar