Minggu, 13 Juli 2014

ASUHAN NEONATUS RESIKO TINGGI

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
              Menurut hasil berbagai survei, tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) disuatu Negara dapat dilihat dari kemampuan untuk memberikan pelayanan obstetric yang bermutu dan menyaluruh.Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus.
              Upaya Menurunkan AKI dan AKB. Departemen Kesehatan menargetkan angka kematian ibu pada 2010 sekitar 226 orang dan pada tahun 2015 menjadi 102 orang per tahun. Untuk mewujudkan hal ini, salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan. Sedangkan penyebab kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian minum 10%, tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13% (Rachmawaty, 2006 : 1)Upaya menurunkan AKI dan AKB beberapa upaya telah dilakukan.
              Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan Jaminan Persalinan ini adalah meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB (Angka Kematian Bayi) melalui jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan.

B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR?
2.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum?
3.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom?
4.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia?
5.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat?
6.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi?
7.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi?
8.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum?
9.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR?
C. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR
2.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum
3.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom
4.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia
5.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat
6.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi
7.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi
8.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum
9.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR.
BAB II
PEMBAHASN

A. BBLR
1. Pengertian BBLR
              Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).
     BBLR dibedakan menjadi :
1.  Prematuritas murni
     Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai.
2.  Retardasi pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)
     Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.
2. Etiologi BBLR
              Penyebab kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang berhubungan, yaitu :
1.  Faktor ibu
§   Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun
§   Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
§   Penyakit menahun ibu :hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok
2.  Faktor kehamilan
§   Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
§   Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3.  Faktor janin
§   Cacat bawaan, infeksi dalam rahim
4.  Faktor Lingkungan
§   Tempat tinggal didataran tinggi
§   Radiasi
§   Zat-zat beracun
3.  Komplikasi BBLR
              Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, terutama berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:
·    Sistem Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom distres respirasi, penyakit membran hialin
·    Sistem Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus,
·    Termoregulasi: Hipotermia,
·    Glukosa: Hipoglikemia simtomatik
·    Hiperbilirubinemia, , perdarahan ventrikel otak, anemia
·    Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)
·    Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal
4.  Pemeriksaan Penunjang BBLR
     Analisa Gas Darah
5.  Penatalaksanaan Medis BBLR
              Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang berhubungan dengan 4 proses adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:
·    Sistem Pernafasan: Resusitasi yang adekuat, terapi oksigen
·    Sistem Kardiovaskuler: Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
·    Termoregulasi : Pengaturan suhu, perawatan bayi dalam inkubator
·    Glukosa (Hiperglikemia): Penyuntikan disusul pemberian infuse glukosa
·    Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup
·    Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat
6.  Prognosis BBLR
              Kematian perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali lebih besar dari pada bayi normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis lebih buruk lagi apabila berat badan lebih rendah. Angka kematian yang tinggi terutama disebabkan adanya kelainan komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, pendarahan intrakanial dan hipoglikemia. Bila bayi selamat kadang-kadang dijumpai kerusakan pada syaraf dan dijumpai gangguan bicara, IQ yang rendah dan gangguan lainnya.
7. Cara Perawatan Bayi dalam Inkubator
              Merupakan cara memberikan perawatan pada bayi dengan dimasukkan ke dalam alat yang berfungsi membantu terciptanya suatu lingkungan yang cukup dengan suhu yang normal. Dalam pelaksanaan perawatan di dalam inkubator terdapat dua cara yaitu dengan cara tertutup dan terbuka.
a.  Inkubator tertutup:
1)  Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka dalam keadaan tertentu seperti apnea, dan apabila membuka incubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan oksigen harus selalu disediakan.
2)  Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.
3)  Bayi harus keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi.
4)  Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.
5)  Pengaturan oksigen selalu diobservasi.
6)  Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27 derajat celcius.
b.  Inkubator terbuka:
1)  Pemberian inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian perawatan pada bayi.
2)  Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan kehangatan.
3)  Membungkus dengan selimut hangat.
4)  Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara.
5)  Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala.
6)  Pengaturan suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai dengan ketentuan di bawah ini

B. Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
              Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur  pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
2. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
              Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
3. Gejala Klinik Asfiksia Neonatorum
              Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
4. Diagnosis Asfiksia Neonatorum
     Pemeriksaan fisik :
     Nilai Apgar
Klinis
0
1
2
Detak jantung
Tidak ada
< 100 x/menit
>100x/menit
Pernafasan
Tidak ada
Tak teratur
Tangis kuat
Refleks saat jalan nafas dibersihkan
Tidak ada
Menyeringai
Batuk/bersin
Tonus otot
Lunglai
Fleksi ekstrimitas (lemah)
Fleksi kuat gerak aktif
Warna kulit
Biru pucat
Tubuh merah ekstrimitas biru
Merah seluruh tubuh
         
   Nilai:     0-3              :            Asfiksia berat
                 Nilai 4-6     :            Asfiksia sedang
                 Nilai 7-10   :            Normal
              Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit  masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan  menentukan prognosis,bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
-   Foto polos dada
-   USG kepala
-   Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
-   Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
-   Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
-   Gastrointestinal : enterokolitis  nekrotikans
-   Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
-   Hematologi : DIC
5. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
a. Resusitasi kardio pulmonal
b. Terapi medikamentosa :
1) Epinefrin : Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000   (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu. 
2)  Bikarbonat, 1-2 mEq/kg BB  atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%). Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
3) Nalokson: 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Intravena,  endotrakeal atau bila perpusi baik  diberikan i.m atau s.c              
c. Suportif
·    Jaga kehangatan.
·    Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
·    Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
d. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat,

C. Sindrom Gangguan Pernafasan
1. Defenisi Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)
2. Etiologi Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
3. Patofisiologi Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
4. Prognosis Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang tidak menderita PMH.
5. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan
                 PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.
6. Pemeriksaan Diaknostik Sindrom Gangguan Pernafasan
a.    Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks.
b.    Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.
7. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Tindakan yang perlu dilakukan :
a.    Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
b.    Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
c.    Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
d.   Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
e.    Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar).

D. Hiperbilirubinemia
1. Definisi Hiperbilirubinemia
                 Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
                 Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis (Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali: 
·       Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
·       Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
·       Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
·       Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
·       Terdapat faktor risiko.
                 Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.
2. Etiologi dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia
a) Etiologi
                   Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·       Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
·       Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
·       Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
·       Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
·       Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
·       Polisitemia.
·       Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
·       Ibu diabetes.
·       Asidosis.
·       Hipoksia/asfiksia.
·       Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b) Faktor Risiko
     Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a.  Faktor Maternal
     Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
·       Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
·       Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
·       ASI
b.  Faktor Perinatal
     Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
·       Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c.  Faktor Neonatus
     Prematuritas
·       Faktor genetik
·       Polisitemia
·       Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
·       Rendahnya asupan ASI
·       Hipoglikemia
·       Hipoalbuminemia
3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
                 Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
a. Ikterus fisiologis
                 Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
                 Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
                 Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. 
                 Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
4. Penegakan Diagnosis Hiperbilirubinemia
a. Visual 
                 Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
                 WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
·      Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
·       Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·       Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
b. Bilirubin Serum
                 Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan  morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.    
c.  Bilirubinometer Transkutan
                 Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
                 Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
                 Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
                 Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
                 Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. 
                 Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. 
                 Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
     Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia 
Kuning terlihat pada 
Tingkat keparahan ikterus 
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
Berat
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar  secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar. 
5. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologis
                 Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
·       Minum ASI dini dan sering
·       Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
·       Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
                 Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
·       Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
·       Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
·       Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
·       Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
·       Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
·       Tentukan diagnosis banding
b. Tata laksana Hiperbilirubinemia 
1)  Hemolitik
                 Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
·       Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
·       Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
·       Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
·       Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
·       Persiapkan transfer.
·       Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
·       Kirim contoh darah ibu dan bayi.
·       Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
·       Nasihati ibu:
·       Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
·       Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
·       Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
·       Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
·       Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.
2) Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) 
                 Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
·       Terapi sinar  dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
·       Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
·       Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
6. Pencegahan Hiperbilirubinemia
                 Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
a. Primer
                 AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. 
                 Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b. Sekunder
                 Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
1)  Pemeriksaan Golongan Darah
                 Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
2) Penilaian Klinis
                 Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain. 
                 Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi  sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

E. Pendarahan Tali Pusat
1. Pengertian Pendarahan Tali Pusat
                 Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
2. Etiologi Pendarahan Tali Pusat
1) Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a. Patus precipitates
b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat
c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat persalinan
d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea
2) Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
b.  Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c.  Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.


3) Robekan pembuluh darah abnormal
            Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :
a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jely Wharton
b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak adda proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c.  Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan masing- masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah pecah
4) Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta
                 Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia.
                 Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
3. Penatalaksanaan Pendarahan Tali Pusat
a.    Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
b.    Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.
c.    Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan rujukan.
F. Konsep Dasar Hipotermia
1.  Definisi Hipotermia
                 Beberapa definisi hipotermia dari beberapa sumber :
a.    Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah  36,5o-37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan tangan  teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah  mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36C). Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C.
b.    Menurut Indarso F(2001), disamping sebagai suatu gejala,hipotermia merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
c.    Menurut Sandra M.T (1997),hipotermi yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti turun sampai dibawah 35o C.
2.  Klasifikasi Hipotermia
a Hipotermi spintas.
                 Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya. Hipotermi sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama, ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir terlalucepat di mandikan (kurang dari 4 -6 jam sesudah lahir).
b.  Hipotermi akut.
                 Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat pada bayi dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup panas. Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang suhunya sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di awasi secara teliti. Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat serta kedu kaki dingin.
c Hipotermi sekunder
                 Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit jantung bawaan yang berat,hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan mengobati penyebab Misalnya: pemberian antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan sebagainya.
d Cold injuri
                 Yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligoria , suhu berkisar sekitar 29,5◦c-35◦c, tidak banyak bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan, kaki dan muka, seolah-olah dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.
3.  Etiologi Hipotermi
                 Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :
a.    Jaringan lemak subkutan tipis.
b.    Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.
c.    Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.
d.   ayi baru lahir tidak ada respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan.
e.    Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia.
f.     Bayi dipisahkan dari ibunya segera mungkin setelah lahir.
g.    Berat lahir bayi yang kurang dan kehamilan prematur.
h.    Tempat melahirkan yang dingin.
i.      Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi yang lama, sepsis, sindrom dengan  pernapasan,  hipoglikemia perdarahan intra kranial.
                 Faktor pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992 :
a.    Faktor lingkungan.
b.    Syok.
c.    Infeksi. 
d.   Gangguan endokrin metabolik.
e.    Kurang  gizi
f.     Obat-obatan.
g.    Aneka cuaca
                 Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu :
a.    Radiasi adalah panas yang hilang dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang dingin. Misal BBL diletakkan ditempat yang dingin.
b.    Konduksi adalah pindahnya panas tubuh bayi  karena kulit bayi langsung kontak dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung diganti.
c.    Konveksi adalah hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL diletakkan dekat pintu atau jendela terbuka.
d.   Evaporasi adalah hilangnya panas akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya cairan amnion pada bayi
4.  Patofisiologi Hipotermi
                 Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur panas di  hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu mencapaib rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol  level meningkat, tetapi asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah.
                 Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem syaraf sentral,kecukupan darib r own fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat antara lain depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi yang salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang, dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG.
                 Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal pada bayi neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang dari 36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.
5. Tanda dan Gejala Hipotermi
a.  Berikut beberapa gejala bayi terkena hipotermia,yaitu :
1)   Suhu tubuh bayi turun dari normalnya.
2)   Bayi tidak mau minum atau menetek.
3)   Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.
4)   Tubub bayi teraba dingin.
5)   Dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh mengeras (sklerema).
6)   Kulit bayi berwarna merah muda dan terlihat sehat.
7)   Lebih diam dari biasanya.
8)   Hilang kesadaran.
9)   Pernapasannya cepat.
10)    Denyut nadinya melemah.
11)    Gangguan penglihatan.
12)    Pupil mata melebar (dilatasi) dan tidak bereaksi.
b.  Berikut adalah tanda terjadinya hipotermia
                   Tanda-tanda hipotermia sedang :
1)   Aktifitas berkurang.
2)   Tangisan lemah.
3)   Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata).
4)   Kemampuan menghisap lemah.
5)   Kaki teraba dingin.
6)   Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin.
c.  Tanda-tanda hipotermia berat :
1)   Aktifitas berkurang,letargis.
2)   Bibir dan kuku kebiruan.
3)   Pernafasan lambat.
4)   Bunyi jantung lambat.
5)   Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis  metabolik.
6)   Risiko untuk kematian bayi.
d. Tanda-tanda stadium lanjut hipotermia :
1)   Muka,ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
2)   Bagian tubuh lainnya pucat.
3)   Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung,kaki dan tangan(sklerema).
6.  Komplikasi
                 Hipotermi yang terjadi pada bayi apabila tidak tertangani dengan tepat akan menyebabkan beberapa gangguan yang akan menyertai yakni:
a.    Gangguan sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
b.    Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya tekanan darah sistolik
c.    Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen
d.   Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex perifer
7.  Penatalaksanaan
a.  Penanganan hipotermia secara umum untuk bayi
                 Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah terkendali dengan baik. Bayi bisa kehilangan suhu tubuh secara cepat dan terkena hipotermi dalam kamar yang dingin. Bayi yang mengalami hipotermi harus dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa cara penanganan hipotermia untuk bayi :
1)   Hangatkan bayi secara bertahap. Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah tubuhnya dengan selimut tebal.
2)   Pakaikan topi dan dekaplah si kecil agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.
b.  Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :
1)   Jangan menempelkan sumber panas langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit anak. Anak harus menjadi hangat secara bertahap.
2)   Jika anak hilang kesadaran,bukalah saluran udaranya dan periksa pernapasannya. Jika anak bernapas,baringkan ia pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah bantuan pernapasan dan kompresi dada. Telepon Ambulans.
c. Prinsip Dasar Untuk Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir
1)   setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
2)   Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan kehangatan dari dekapan ibu.
3)   Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks dan bayi mendapat kalori.
4)   Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
5)   Memberikan penghangatan pada bayi  baru lahir secara mandiri.
6)   Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan. 
7)   Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.  
G. Hipertermi
1.  Pengertian Hipertermi           
                 Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal (blogAsuhanKeperawatan.com).
                 Hipertermia adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan keperawatan.com.I Ziddu.com)
2.  Etiologi Hipertermi
                 Disebabkan oleh meningkatnya produksi panas andogen (olahraga berat, Hipertermia maligna, Sindrom neuroleptik maligna, Hipertiroiddisme), Pengurangan kehilangan panas, atau terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas)
3.  Gejala Hipertermi
1) Suhu badan tinggi (>37,5°C)
2) Terasa kehausan.
3) Mulut kering
4) Kedinginan,lemas
5) Anoreksia (tidak selera makan)
6) Nadi cepat.
7) Pernafasan cepat (>60X/menit)
8) Berat badan bayi menurun
9) Turgor kulit kurang
a.  Bila suhu diduga karena paparan panas berlebihan:
·      Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C
·      Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan menggunakan air es).
·      Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai dehidrasi teratasi
·      Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
·      Bila bayi pernah diletakan di bawah pemancar panas atau incubator
·      Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator, buka incubator sampai suhu dalam batas normal
·      Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian
·      Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakan
·      Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batar normal
·      Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan pengatur suhu
c.  Manajemen lanjutan suhu lebih 37,5°C
1) Yakin bayi mendapatkan masukan cukup cairan
a)  Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat menyusui, beri ASI panas dengan salah satu alternative cara pemberian minum
b)  Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani dehidrasinya
2) Setelah suhu bayi normal:
a)  Lakukan perawatan lanjutan
b)  Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam
3)  Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan, nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari pancaran panas yang berlebihan
1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat menyusu, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan alternative
2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau fontanel cekung, kehilangan elastisitas kulit, atau lidah atau membran mukosa kering)
a)  Pasang slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia bayi
b)  Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat badan bayi pada hari pertama dehidrasi terlihat 
e.  Ukur glukosa darah, jika glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi glukosa  darah yang rendah.

H. Tetanus Neonaturum
1. Pengertian Tetanus Neonaturum
             Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus  yang berarti kencang atau tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus generalisasi dan jugamerupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya Neonatal (berasal dari neos  yang berarti baru dan natus yang berarti lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.
                 Tetanus Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
                 Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)
                 Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium Tetani  memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur 3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S, 1995).
                 Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah namun dapat berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari kuman Clostridium tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan toksin yang dapat menyerang sistem syaraf pusat.
2. Etiologi Tetanus Neonaturum
                 Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
                 Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus Neonatorum. (Sudarjat S, 1995).
3. Faktor Resiko Tetanus Neonaturum
a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
b) Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.
c) Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.
4. Epidemiologi Tetanus Neonaturum
                 Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
5. Patologi Tetanus Neonaturum
                 Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
6. Gambaran Klinik Tetanus Neonaturum
                 Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
                 Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu :
a.    Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).
b.    Mulut mencucu seperti mulut ikan.
c.    Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis.
d.   Kaku kuduk sampai opistotonus.
e.    Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
f.     Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus sardonikus
g.    Ekstermitas biasanya terulur dan kaku.
h.    Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis lemah.
7. Pencegahan Tetanus Neonaturum
a. Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih alat .
1) Bersih tangan
     Sebelum menolong persalinan, tangan poenolong disikat dan dicuci dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.

2) Bersih alas
     Tempat atau alas yang dipakai untuk persaliunan harus bersih, karena clostrodium tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran..
3) Bersih alat
     Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika alat tidak dibungkus.
b. Perawatan tali pusat yang baik
                 Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 – 5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena akan terjadi infeksi.
c. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil
                 Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
                 Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
                 TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .
8. Penatalaksanaan Tetanus Neonaturum
1. Mengatasi kejang
     Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian obat anti kejang. Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 – 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan per os dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat rektum.
2. Pemberian antitoksin
     Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S (antitetanus serum) dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .
3. Pemberian antibiotika
     Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan setiap hari dan diteruskan sampai 3 hari panas turun.
4. Perawatan Tali pusat
     Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.
5. Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
     Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
a. Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
b. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya.
d. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
e. Observasi tanda vital setiap ½ jam .
f. Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.
g. Jika bayi menderita apnea :
a) Hisap lendirnya sampai bersih
b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)
Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 – 6 x/menit.
Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.
6. Kebutuhan nutrisi/cairan
     Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
7. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
     Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.



I. Hipoglikemia
1. Pengertian Hipoglikemia
              Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
              Hipoglikemia (hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah berkurangnya secara abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat dan sakit kepala apabila kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf pusat (KamusKedokteran Dorland:2000).
Hipoglikemia neonatorum adalah masalah pada bayi dengan kadarglukosa darah kurang dari 40 -45mg/dl (Sudarti & Khoerunnisa,Endang : 2010)
Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi di bawah kadar rata-rata bayi seusia & berat badan aterm (2500 gr atau lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl pada hari berikutnya.
Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum untuk diagnosis Hipoglikemia pada berbagai kelompok umur anak :
Kelompok Umur
Glokuse <mg/dl
Darah Plasma/serum
Bayi/anak
Neonatus
* BBLR/KMK
* BCB
0 - 3 hr
3 hr
<40 mg/100 ml

<20 mg/100 ml

<30 mg/100 ml
<40 mg/100 ml
<45 mg/100 ml

<25 mg/100 ml

<35 mg/100 ml
<45 mg/100 ml

     Hipoglikemia pada neonates :
a.    Untuk setiap neonatus manapun, kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal
b.    Menurut WHO hipoglikemi adalah bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL
c.    Gejala sering tidak jelas/asimptomatik, semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai kemungkinan adanya hipoglikemia
d.   Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius
2.  Frekuensi Hipoglikemia
              Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi baru lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir dari ibu diabetes 8%-25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko tinggi 30% terjadi hipoglikemia.
              Frekuensi hipoglikemia pada bayi/neonates belum diketahui pasti.Namun di amerika dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutberlet dan Cornblath melaporkan frekuensi hipoglikemia 4,4 per 1000 BBLR. Hanya 200-240 penderita hipoglikemia persisten maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk rumah sakit.Angka ini berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 23 per 1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat berjumlah 80.000 pertahun.
3.  Etiologi Hipoglikemia
              Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control pada metabolism glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan keseimbangan endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.
               Hipoglikemia biasanya terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab lainnya adalah: 
1.  Prematuritas
2.  Post-maturitas
3.  Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi berada dalam kandungan.
              Hipoglikemia juga bisa terjadi pada bayi yang memiliki kadar insulin tinggi.Bayi yang ibunya menderita diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang tinggi karena ibunya memiliki kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula darah ini melewati plasenta dan sampai ke janin selama masa kehamilan. Akibatnya, janin menghasilkan sejumlah besar insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan pada bayi yang menderita penyakit hemolitik berat.
              Kadar insulin yang tinggi menyebabkan kadar gula darah menurun dengan cepat pada jam-jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula dari plasenta secara tiba-tiba terhenti.
Hipoglikemia pada neonates biasa disebabkan oleh penyebab-penyebab di atas, namun bila hipoglikemia neonates tadi berulang/menetap, dapat dipikirkan penyebab sebagai berikut :
1)  Hormon Excess-hyperinsulinsm
a.  Exomphalos, macroglossia, gigantism syndrome of beckwith wiedemann
b.  “infant giants”
c.  Kelainan patologik sel beta
2)  Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan defisiensi hormone multipel
3)  Defek metabolism karbohidrat heriditer
4)  Defek metabolism asam amino herediter
                 Factor resiko :
1.  Hipoglikemi sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa rendah.
2.  Bayi yang besar untuk masa kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.
3.  Bayi premature atau lebih bulan.
4.  BBLR yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak tubuh.
5. Bayi sakit berat karena meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan kalori
6. Neonates yang sakit atau stress (sindrom gawat nafas,hipotermi)
7. Bayi dengan polisemia
8.  Bayi yang dipuasakn
9.  Bayi dengan kelainan genetic/gangguan metabolic (penyakit cadangan glycogen, intoleransi glukosa).
10. Obat-obat maternal misalnya steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker.
11. Pada ibu diabetes mellitus (DM) terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respons insulin juga meningkat pada janin.
4.  Manifestasi Klinis Hipoglikemia
   Hipoglikemia walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan merupakan problem bagi dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :
Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis tergantung pada indeks kepekaan yang tinggi.
Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan kompleks.
   Pada bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah, elisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.
   Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu : berasal dari system syaraf autonomy dan berhubungan dengan kurangnya suplay glukosa pada otak (neuroglikopenia). Gejala akibat dari system syaraf autonomy adalam berkeringat,gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pening, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat konsentrasi.Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan lemah.Pada neonates tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis, hipotonia, iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan pucat.Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, missal kelainan bawaan pada susunan syaraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernicterus. Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress respirasi, asfiksia, anomaly kongenital multiple atau defisiensi endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada “glycogen storage disease type I”.
1)  Neonatus
              Hipoglikemia simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam kehidupan. Sering menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat pemberian ASI dan bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin. Juga termasuk dalam golongan ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam kehidupan, kebanyakan tidak memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya. Umumnya sembuh spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa di antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300 mikrogram atau 0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.
              Hipoglikemia neonates simtomatik gejalanya tidak khas, misalnya : apati, anoreksia, hipotoni, apneu, sianosis, pernapasan tidak teratur, kesadaran menurun, tremor, kejang tonik/klonik, menangis tidak normal dan cengeng. Kebanyakan gejala pertama timbul sesudah 24 - 48 jam kehidupan.
2)  Bayi/Anak
              Gejala-gejala dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric tidak terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng, ataksia, strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan tingkah laku.
              Hipoglikemia bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan takikardi.Serangan ulang gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu setiap hari, sehingga kita harus waspada terhadap kemungkinan hipoglikemia.Pemeriksaan glucose darah pada saat timbulnya gejala sangat penting.
              Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu diterapkan dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko, gejala yang seringkali muncul :
a.  Tremor
b.  Sianosis
c.  Apatis
d.  Kejang
e.   Apnea intermitten
f.   Tangisan lemah/melengking
g.  Letargi
h.  Kesulitan minum
i.   Gerakan mata berputar/nistagmus
j.   Keringat dingin
k.  Pucat
l.   Hipotermi
m. Refleks hisap kurang
n.  Muntah
5.  Patofisilogi Hipoglikemia
Batasan dikatakan neonates mengalami hipoglikemia:
1.  Timbul bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai usia pasca lahir
2.  Bayi atterm BB 2500 gr : gula darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl
3.  BBLR : GD <25 mg/dl
Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, gangguan pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.
Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
6. Diagnosis Hipoglikemia
   Untuk mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan pengobatan tepat waktu untuk hipoglikemia adalah sangat penting.Pemantauan glukosa di tempat tidur adalah tindakan tepat untuk penapisan dan deteksi awal.Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium jika memungkinkan, dan juga dengan anamnesis, antara lain :
a.    Riwayat bayi  menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan
b.    Riwayat bayi prematur
c.    Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d.   Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e.    Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f.     Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g.    Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia
-   Bayi dari ibu diabetes (IDM)
-   Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
-   Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)
-   Bayi prematur dan lewat bulan
-   Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
-   Bayi puasa
-   Bayi dengan polisitemia
-   Bayi dengan eritroblastosis
-   Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker
   Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias whipple’s yaitu :
a.  Manifestasi  klinis yang khas
b.  Kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat dengan metode yang peka dan tepat
c.  Gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah normoglikemia.
   Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi.
1) Pemeriksaan laboratorium :
a.  Kadar glukosa serum
·      Diperiksa dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36, dan 48 jam
·      Pengukuran <45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran serum glukosa
b.  Kadar serum kalsium
·      Pada usia 6, 24 dan 48 jam
·      Jika kadar serum kalsium rendah, kadar serum magnesium harus diukur
c.  Hematokrit
     Pada saat lahir dan pada usia 24 jam
d.  Kadar serum bilirubin
     Sesuai indikasi pemeriksaan fisis
e.  Tes lain
·      Kadar gas darah arteri
·      Hitungan sel darah lengkap (CBC), kultur dan pewarnaan gram dilakukan sesuai indikasi klinis
2.  Pemeriksaan radiologi
     Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung, pernafasan atau kerangka
3.  Electrocardiography dan echocardiography
     Jika dicurigai adanya hypertropic cardiomyopathy atau malformasi jantung
7. Penatalaksanaan Hipoglikemia
1) Memantau kadar glukosa darah
     Semua neonatus berisiko tinggi harus ditapis :
a.  Pada saat lahir
b.  30 menit setelah lahir
c.  Kemudian setiap 2-4 jam selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik dan kadar glukosa normal tercapai
2)  Pencegahan hipoglikemia
a.  Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia
b.  Pemberian makan enteral merupakan tindakan preventif tunggal paling penting
c.  Jika bayi tidak mungkin menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam setelah lahir
d.  Neonatus yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya penuh dan 3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL
e.  Jika ini gagal, terapi intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau
3) Perawatan hipoglikemia
a. Koreksi segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan diberikan melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan
b.  Infus tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus dimulai
c.  Kecepatan infus glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :

     GIR (mg/kg/min) = kecepatan cairan (cc/jam) x konsenterasi dextrose(%)
                                                                     6x berat (Kg) e
d.  Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan untuk memastikan bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai
e.  Ketika pemberian makan telah dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di tempat tidur (bed side) sudah normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap. Tindakan ini mungkin memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari kambuhnya hipoglikemia
5)  Hipoglikemia refraktori
     Kebutuhan glukosa >12 mg/kg/menit menunjukan adanya hiperinsulinisme. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan :
a.  Hidrokortison 5 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam
b.  Glukagon 200 ug IV (segera atau infus berkesinambungan 10 ug/kg/jam)
c.  Diazoxide 10 mg/kg/hari setiap 8 jam menghambat sekresi insulin pancreas





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961). BBLR dibedakan menjadi Prematuritas murni dan  Retardasi.
            Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur  pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis. Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia
            Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi.
            Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
            Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
            Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah  36,5o-37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan tangan  teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah  mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36C). Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C
            Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal
            Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
B. Saran
                   Resum kondisi bayi pasca persalinan harus dilakukan dengan baik. Ketidak akuratan dalam proses pengkajian dapat menyebabkan tidak diketahuinya kelainan dan resiko kelainan pada bayi.



DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.
Doengoes, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Anak.Yogyakarta: Nuha Medika
Hanifa Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjio, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.
Rukiyah dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Trans Info Media
Sarwono Prawiroharjo. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina.
Staf Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika
Sudarti.2010. Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha Medika.
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
              Menurut hasil berbagai survei, tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) disuatu Negara dapat dilihat dari kemampuan untuk memberikan pelayanan obstetric yang bermutu dan menyaluruh.Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus.
              Upaya Menurunkan AKI dan AKB. Departemen Kesehatan menargetkan angka kematian ibu pada 2010 sekitar 226 orang dan pada tahun 2015 menjadi 102 orang per tahun. Untuk mewujudkan hal ini, salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan. Sedangkan penyebab kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian minum 10%, tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13% (Rachmawaty, 2006 : 1)Upaya menurunkan AKI dan AKB beberapa upaya telah dilakukan.
              Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan Jaminan Persalinan ini adalah meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB (Angka Kematian Bayi) melalui jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan.

B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR?
2.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum?
3.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom?
4.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia?
5.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat?
6.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi?
7.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi?
8.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum?
9.    Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR?
C. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR
2.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum
3.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom
4.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia
5.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat
6.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi
7.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi
8.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum
9.    Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR.
BAB II
PEMBAHASN

A. BBLR
1. Pengertian BBLR
              Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).
     BBLR dibedakan menjadi :
1.  Prematuritas murni
     Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai.
2.  Retardasi pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)
     Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.
2. Etiologi BBLR
              Penyebab kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang berhubungan, yaitu :
1.  Faktor ibu
§   Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun
§   Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
§   Penyakit menahun ibu :hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok
2.  Faktor kehamilan
§   Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
§   Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3.  Faktor janin
§   Cacat bawaan, infeksi dalam rahim
4.  Faktor Lingkungan
§   Tempat tinggal didataran tinggi
§   Radiasi
§   Zat-zat beracun
3.  Komplikasi BBLR
              Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, terutama berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:
·    Sistem Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom distres respirasi, penyakit membran hialin
·    Sistem Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus,
·    Termoregulasi: Hipotermia,
·    Glukosa: Hipoglikemia simtomatik
·    Hiperbilirubinemia, , perdarahan ventrikel otak, anemia
·    Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)
·    Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal
4.  Pemeriksaan Penunjang BBLR
     Analisa Gas Darah
5.  Penatalaksanaan Medis BBLR
              Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang berhubungan dengan 4 proses adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:
·    Sistem Pernafasan: Resusitasi yang adekuat, terapi oksigen
·    Sistem Kardiovaskuler: Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
·    Termoregulasi : Pengaturan suhu, perawatan bayi dalam inkubator
·    Glukosa (Hiperglikemia): Penyuntikan disusul pemberian infuse glukosa
·    Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup
·    Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat
6.  Prognosis BBLR
              Kematian perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali lebih besar dari pada bayi normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis lebih buruk lagi apabila berat badan lebih rendah. Angka kematian yang tinggi terutama disebabkan adanya kelainan komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, pendarahan intrakanial dan hipoglikemia. Bila bayi selamat kadang-kadang dijumpai kerusakan pada syaraf dan dijumpai gangguan bicara, IQ yang rendah dan gangguan lainnya.
7. Cara Perawatan Bayi dalam Inkubator
              Merupakan cara memberikan perawatan pada bayi dengan dimasukkan ke dalam alat yang berfungsi membantu terciptanya suatu lingkungan yang cukup dengan suhu yang normal. Dalam pelaksanaan perawatan di dalam inkubator terdapat dua cara yaitu dengan cara tertutup dan terbuka.
a.  Inkubator tertutup:
1)  Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka dalam keadaan tertentu seperti apnea, dan apabila membuka incubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan oksigen harus selalu disediakan.
2)  Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.
3)  Bayi harus keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi.
4)  Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.
5)  Pengaturan oksigen selalu diobservasi.
6)  Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27 derajat celcius.
b.  Inkubator terbuka:
1)  Pemberian inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian perawatan pada bayi.
2)  Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan kehangatan.
3)  Membungkus dengan selimut hangat.
4)  Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara.
5)  Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala.
6)  Pengaturan suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai dengan ketentuan di bawah ini

B. Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
              Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur  pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
2. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
              Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
3. Gejala Klinik Asfiksia Neonatorum
              Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
4. Diagnosis Asfiksia Neonatorum
     Pemeriksaan fisik :
     Nilai Apgar
Klinis
0
1
2
Detak jantung
Tidak ada
< 100 x/menit
>100x/menit
Pernafasan
Tidak ada
Tak teratur
Tangis kuat
Refleks saat jalan nafas dibersihkan
Tidak ada
Menyeringai
Batuk/bersin
Tonus otot
Lunglai
Fleksi ekstrimitas (lemah)
Fleksi kuat gerak aktif
Warna kulit
Biru pucat
Tubuh merah ekstrimitas biru
Merah seluruh tubuh
         
   Nilai:     0-3              :            Asfiksia berat
                 Nilai 4-6     :            Asfiksia sedang
                 Nilai 7-10   :            Normal
              Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit  masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan  menentukan prognosis,bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
-   Foto polos dada
-   USG kepala
-   Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
-   Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
-   Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
-   Gastrointestinal : enterokolitis  nekrotikans
-   Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
-   Hematologi : DIC
5. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
a. Resusitasi kardio pulmonal
b. Terapi medikamentosa :
1) Epinefrin : Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000   (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu. 
2)  Bikarbonat, 1-2 mEq/kg BB  atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%). Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
3) Nalokson: 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Intravena,  endotrakeal atau bila perpusi baik  diberikan i.m atau s.c              
c. Suportif
·    Jaga kehangatan.
·    Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
·    Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
d. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat,

C. Sindrom Gangguan Pernafasan
1. Defenisi Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)
2. Etiologi Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
3. Patofisiologi Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
4. Prognosis Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang tidak menderita PMH.
5. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan
                 PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.
6. Pemeriksaan Diaknostik Sindrom Gangguan Pernafasan
a.    Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks.
b.    Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.
7. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan
                 Tindakan yang perlu dilakukan :
a.    Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
b.    Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
c.    Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
d.   Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
e.    Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar).

D. Hiperbilirubinemia
1. Definisi Hiperbilirubinemia
                 Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
                 Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis (Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali: 
·       Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
·       Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
·       Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
·       Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
·       Terdapat faktor risiko.
                 Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.
2. Etiologi dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia
a) Etiologi
                   Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·       Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
·       Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
·       Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
·       Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
·       Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
·       Polisitemia.
·       Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
·       Ibu diabetes.
·       Asidosis.
·       Hipoksia/asfiksia.
·       Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b) Faktor Risiko
     Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a.  Faktor Maternal
     Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
·       Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
·       Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
·       ASI
b.  Faktor Perinatal
     Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
·       Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c.  Faktor Neonatus
     Prematuritas
·       Faktor genetik
·       Polisitemia
·       Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
·       Rendahnya asupan ASI
·       Hipoglikemia
·       Hipoalbuminemia
3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
                 Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
a. Ikterus fisiologis
                 Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
                 Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
                 Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. 
                 Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
4. Penegakan Diagnosis Hiperbilirubinemia
a. Visual 
                 Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
                 WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
·      Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
·       Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·       Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
b. Bilirubin Serum
                 Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan  morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.    
c.  Bilirubinometer Transkutan
                 Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
                 Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
                 Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
                 Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
                 Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. 
                 Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. 
                 Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
     Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia 
Kuning terlihat pada 
Tingkat keparahan ikterus 
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
Berat
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar  secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar. 
5. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologis
                 Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
·       Minum ASI dini dan sering
·       Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
·       Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
                 Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
·       Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
·       Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
·       Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
·       Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
·       Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
·       Tentukan diagnosis banding
b. Tata laksana Hiperbilirubinemia 
1)  Hemolitik
                 Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
·       Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
·       Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
·       Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
·       Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
·       Persiapkan transfer.
·       Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
·       Kirim contoh darah ibu dan bayi.
·       Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
·       Nasihati ibu:
·       Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
·       Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
·       Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
·       Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
·       Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.
2) Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) 
                 Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
·       Terapi sinar  dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
·       Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
·       Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
6. Pencegahan Hiperbilirubinemia
                 Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
a. Primer
                 AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. 
                 Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b. Sekunder
                 Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
1)  Pemeriksaan Golongan Darah
                 Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
2) Penilaian Klinis
                 Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain. 
                 Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi  sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

E. Pendarahan Tali Pusat
1. Pengertian Pendarahan Tali Pusat
                 Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
2. Etiologi Pendarahan Tali Pusat
1) Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a. Patus precipitates
b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat
c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat persalinan
d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea
2) Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
b.  Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c.  Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.


3) Robekan pembuluh darah abnormal
            Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :
a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jely Wharton
b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak adda proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c.  Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan masing- masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah pecah
4) Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta
                 Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia.
                 Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
3. Penatalaksanaan Pendarahan Tali Pusat
a.    Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
b.    Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.
c.    Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan rujukan.
F. Konsep Dasar Hipotermia
1.  Definisi Hipotermia
                 Beberapa definisi hipotermia dari beberapa sumber :
a.    Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah  36,5o-37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan tangan  teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah  mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36C). Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C.
b.    Menurut Indarso F(2001), disamping sebagai suatu gejala,hipotermia merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
c.    Menurut Sandra M.T (1997),hipotermi yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti turun sampai dibawah 35o C.
2.  Klasifikasi Hipotermia
a Hipotermi spintas.
                 Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya. Hipotermi sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama, ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir terlalucepat di mandikan (kurang dari 4 -6 jam sesudah lahir).
b.  Hipotermi akut.
                 Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat pada bayi dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup panas. Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang suhunya sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di awasi secara teliti. Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat serta kedu kaki dingin.
c Hipotermi sekunder
                 Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit jantung bawaan yang berat,hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan mengobati penyebab Misalnya: pemberian antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan sebagainya.
d Cold injuri
                 Yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligoria , suhu berkisar sekitar 29,5◦c-35◦c, tidak banyak bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan, kaki dan muka, seolah-olah dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.
3.  Etiologi Hipotermi
                 Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :
a.    Jaringan lemak subkutan tipis.
b.    Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.
c.    Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.
d.   ayi baru lahir tidak ada respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan.
e.    Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia.
f.     Bayi dipisahkan dari ibunya segera mungkin setelah lahir.
g.    Berat lahir bayi yang kurang dan kehamilan prematur.
h.    Tempat melahirkan yang dingin.
i.      Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi yang lama, sepsis, sindrom dengan  pernapasan,  hipoglikemia perdarahan intra kranial.
                 Faktor pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992 :
a.    Faktor lingkungan.
b.    Syok.
c.    Infeksi. 
d.   Gangguan endokrin metabolik.
e.    Kurang  gizi
f.     Obat-obatan.
g.    Aneka cuaca
                 Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu :
a.    Radiasi adalah panas yang hilang dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang dingin. Misal BBL diletakkan ditempat yang dingin.
b.    Konduksi adalah pindahnya panas tubuh bayi  karena kulit bayi langsung kontak dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung diganti.
c.    Konveksi adalah hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL diletakkan dekat pintu atau jendela terbuka.
d.   Evaporasi adalah hilangnya panas akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya cairan amnion pada bayi
4.  Patofisiologi Hipotermi
                 Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur panas di  hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu mencapaib rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol  level meningkat, tetapi asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah.
                 Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem syaraf sentral,kecukupan darib r own fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat antara lain depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi yang salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang, dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG.
                 Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal pada bayi neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang dari 36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.
5. Tanda dan Gejala Hipotermi
a.  Berikut beberapa gejala bayi terkena hipotermia,yaitu :
1)   Suhu tubuh bayi turun dari normalnya.
2)   Bayi tidak mau minum atau menetek.
3)   Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.
4)   Tubub bayi teraba dingin.
5)   Dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh mengeras (sklerema).
6)   Kulit bayi berwarna merah muda dan terlihat sehat.
7)   Lebih diam dari biasanya.
8)   Hilang kesadaran.
9)   Pernapasannya cepat.
10)    Denyut nadinya melemah.
11)    Gangguan penglihatan.
12)    Pupil mata melebar (dilatasi) dan tidak bereaksi.
b.  Berikut adalah tanda terjadinya hipotermia
                   Tanda-tanda hipotermia sedang :
1)   Aktifitas berkurang.
2)   Tangisan lemah.
3)   Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata).
4)   Kemampuan menghisap lemah.
5)   Kaki teraba dingin.
6)   Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin.
c.  Tanda-tanda hipotermia berat :
1)   Aktifitas berkurang,letargis.
2)   Bibir dan kuku kebiruan.
3)   Pernafasan lambat.
4)   Bunyi jantung lambat.
5)   Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis  metabolik.
6)   Risiko untuk kematian bayi.
d. Tanda-tanda stadium lanjut hipotermia :
1)   Muka,ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
2)   Bagian tubuh lainnya pucat.
3)   Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung,kaki dan tangan(sklerema).
6.  Komplikasi
                 Hipotermi yang terjadi pada bayi apabila tidak tertangani dengan tepat akan menyebabkan beberapa gangguan yang akan menyertai yakni:
a.    Gangguan sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
b.    Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya tekanan darah sistolik
c.    Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen
d.   Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex perifer
7.  Penatalaksanaan
a.  Penanganan hipotermia secara umum untuk bayi
                 Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah terkendali dengan baik. Bayi bisa kehilangan suhu tubuh secara cepat dan terkena hipotermi dalam kamar yang dingin. Bayi yang mengalami hipotermi harus dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa cara penanganan hipotermia untuk bayi :
1)   Hangatkan bayi secara bertahap. Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah tubuhnya dengan selimut tebal.
2)   Pakaikan topi dan dekaplah si kecil agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.
b.  Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :
1)   Jangan menempelkan sumber panas langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit anak. Anak harus menjadi hangat secara bertahap.
2)   Jika anak hilang kesadaran,bukalah saluran udaranya dan periksa pernapasannya. Jika anak bernapas,baringkan ia pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah bantuan pernapasan dan kompresi dada. Telepon Ambulans.
c. Prinsip Dasar Untuk Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir
1)   setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
2)   Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan kehangatan dari dekapan ibu.
3)   Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks dan bayi mendapat kalori.
4)   Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
5)   Memberikan penghangatan pada bayi  baru lahir secara mandiri.
6)   Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan. 
7)   Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.  
G. Hipertermi
1.  Pengertian Hipertermi           
                 Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal (blogAsuhanKeperawatan.com).
                 Hipertermia adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan keperawatan.com.I Ziddu.com)
2.  Etiologi Hipertermi
                 Disebabkan oleh meningkatnya produksi panas andogen (olahraga berat, Hipertermia maligna, Sindrom neuroleptik maligna, Hipertiroiddisme), Pengurangan kehilangan panas, atau terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas)
3.  Gejala Hipertermi
1) Suhu badan tinggi (>37,5°C)
2) Terasa kehausan.
3) Mulut kering
4) Kedinginan,lemas
5) Anoreksia (tidak selera makan)
6) Nadi cepat.
7) Pernafasan cepat (>60X/menit)
8) Berat badan bayi menurun
9) Turgor kulit kurang
a.  Bila suhu diduga karena paparan panas berlebihan:
·      Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C
·      Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan menggunakan air es).
·      Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai dehidrasi teratasi
·      Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
·      Bila bayi pernah diletakan di bawah pemancar panas atau incubator
·      Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator, buka incubator sampai suhu dalam batas normal
·      Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian
·      Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakan
·      Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batar normal
·      Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan pengatur suhu
c.  Manajemen lanjutan suhu lebih 37,5°C
1) Yakin bayi mendapatkan masukan cukup cairan
a)  Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat menyusui, beri ASI panas dengan salah satu alternative cara pemberian minum
b)  Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani dehidrasinya
2) Setelah suhu bayi normal:
a)  Lakukan perawatan lanjutan
b)  Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam
3)  Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan, nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari pancaran panas yang berlebihan
1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat menyusu, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan alternative
2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau fontanel cekung, kehilangan elastisitas kulit, atau lidah atau membran mukosa kering)
a)  Pasang slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia bayi
b)  Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat badan bayi pada hari pertama dehidrasi terlihat 
e.  Ukur glukosa darah, jika glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi glukosa  darah yang rendah.

H. Tetanus Neonaturum
1. Pengertian Tetanus Neonaturum
             Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus  yang berarti kencang atau tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus generalisasi dan jugamerupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya Neonatal (berasal dari neos  yang berarti baru dan natus yang berarti lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.
                 Tetanus Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
                 Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)
                 Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium Tetani  memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur 3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S, 1995).
                 Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah namun dapat berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari kuman Clostridium tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan toksin yang dapat menyerang sistem syaraf pusat.
2. Etiologi Tetanus Neonaturum
                 Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
                 Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus Neonatorum. (Sudarjat S, 1995).
3. Faktor Resiko Tetanus Neonaturum
a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
b) Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.
c) Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.
4. Epidemiologi Tetanus Neonaturum
                 Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
5. Patologi Tetanus Neonaturum
                 Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
6. Gambaran Klinik Tetanus Neonaturum
                 Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
                 Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu :
a.    Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).
b.    Mulut mencucu seperti mulut ikan.
c.    Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis.
d.   Kaku kuduk sampai opistotonus.
e.    Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
f.     Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus sardonikus
g.    Ekstermitas biasanya terulur dan kaku.
h.    Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis lemah.
7. Pencegahan Tetanus Neonaturum
a. Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih alat .
1) Bersih tangan
     Sebelum menolong persalinan, tangan poenolong disikat dan dicuci dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.

2) Bersih alas
     Tempat atau alas yang dipakai untuk persaliunan harus bersih, karena clostrodium tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran..
3) Bersih alat
     Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika alat tidak dibungkus.
b. Perawatan tali pusat yang baik
                 Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 – 5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena akan terjadi infeksi.
c. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil
                 Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
                 Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
                 TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .
8. Penatalaksanaan Tetanus Neonaturum
1. Mengatasi kejang
     Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian obat anti kejang. Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 – 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan per os dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat rektum.
2. Pemberian antitoksin
     Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S (antitetanus serum) dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .
3. Pemberian antibiotika
     Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan setiap hari dan diteruskan sampai 3 hari panas turun.
4. Perawatan Tali pusat
     Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.
5. Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
     Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
a. Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
b. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya.
d. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
e. Observasi tanda vital setiap ½ jam .
f. Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.
g. Jika bayi menderita apnea :
a) Hisap lendirnya sampai bersih
b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)
Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 – 6 x/menit.
Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.
6. Kebutuhan nutrisi/cairan
     Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
7. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
     Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.



I. Hipoglikemia
1. Pengertian Hipoglikemia
              Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
              Hipoglikemia (hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah berkurangnya secara abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat dan sakit kepala apabila kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf pusat (KamusKedokteran Dorland:2000).
Hipoglikemia neonatorum adalah masalah pada bayi dengan kadarglukosa darah kurang dari 40 -45mg/dl (Sudarti & Khoerunnisa,Endang : 2010)
Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi di bawah kadar rata-rata bayi seusia & berat badan aterm (2500 gr atau lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl pada hari berikutnya.
Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum untuk diagnosis Hipoglikemia pada berbagai kelompok umur anak :
Kelompok Umur
Glokuse <mg/dl
Darah Plasma/serum
Bayi/anak
Neonatus
* BBLR/KMK
* BCB
0 - 3 hr
3 hr
<40 mg/100 ml

<20 mg/100 ml

<30 mg/100 ml
<40 mg/100 ml
<45 mg/100 ml

<25 mg/100 ml

<35 mg/100 ml
<45 mg/100 ml

     Hipoglikemia pada neonates :
a.    Untuk setiap neonatus manapun, kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal
b.    Menurut WHO hipoglikemi adalah bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL
c.    Gejala sering tidak jelas/asimptomatik, semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai kemungkinan adanya hipoglikemia
d.   Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius
2.  Frekuensi Hipoglikemia
              Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi baru lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir dari ibu diabetes 8%-25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko tinggi 30% terjadi hipoglikemia.
              Frekuensi hipoglikemia pada bayi/neonates belum diketahui pasti.Namun di amerika dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutberlet dan Cornblath melaporkan frekuensi hipoglikemia 4,4 per 1000 BBLR. Hanya 200-240 penderita hipoglikemia persisten maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk rumah sakit.Angka ini berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 23 per 1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat berjumlah 80.000 pertahun.
3.  Etiologi Hipoglikemia
              Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control pada metabolism glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan keseimbangan endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.
               Hipoglikemia biasanya terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab lainnya adalah: 
1.  Prematuritas
2.  Post-maturitas
3.  Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi berada dalam kandungan.
              Hipoglikemia juga bisa terjadi pada bayi yang memiliki kadar insulin tinggi.Bayi yang ibunya menderita diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang tinggi karena ibunya memiliki kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula darah ini melewati plasenta dan sampai ke janin selama masa kehamilan. Akibatnya, janin menghasilkan sejumlah besar insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan pada bayi yang menderita penyakit hemolitik berat.
              Kadar insulin yang tinggi menyebabkan kadar gula darah menurun dengan cepat pada jam-jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula dari plasenta secara tiba-tiba terhenti.
Hipoglikemia pada neonates biasa disebabkan oleh penyebab-penyebab di atas, namun bila hipoglikemia neonates tadi berulang/menetap, dapat dipikirkan penyebab sebagai berikut :
1)  Hormon Excess-hyperinsulinsm
a.  Exomphalos, macroglossia, gigantism syndrome of beckwith wiedemann
b.  “infant giants”
c.  Kelainan patologik sel beta
2)  Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan defisiensi hormone multipel
3)  Defek metabolism karbohidrat heriditer
4)  Defek metabolism asam amino herediter
                 Factor resiko :
1.  Hipoglikemi sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa rendah.
2.  Bayi yang besar untuk masa kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.
3.  Bayi premature atau lebih bulan.
4.  BBLR yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak tubuh.
5. Bayi sakit berat karena meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan kalori
6. Neonates yang sakit atau stress (sindrom gawat nafas,hipotermi)
7. Bayi dengan polisemia
8.  Bayi yang dipuasakn
9.  Bayi dengan kelainan genetic/gangguan metabolic (penyakit cadangan glycogen, intoleransi glukosa).
10. Obat-obat maternal misalnya steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker.
11. Pada ibu diabetes mellitus (DM) terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respons insulin juga meningkat pada janin.
4.  Manifestasi Klinis Hipoglikemia
   Hipoglikemia walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan merupakan problem bagi dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :
Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis tergantung pada indeks kepekaan yang tinggi.
Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan kompleks.
   Pada bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah, elisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.
   Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu : berasal dari system syaraf autonomy dan berhubungan dengan kurangnya suplay glukosa pada otak (neuroglikopenia). Gejala akibat dari system syaraf autonomy adalam berkeringat,gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pening, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat konsentrasi.Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan lemah.Pada neonates tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis, hipotonia, iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan pucat.Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, missal kelainan bawaan pada susunan syaraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernicterus. Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress respirasi, asfiksia, anomaly kongenital multiple atau defisiensi endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada “glycogen storage disease type I”.
1)  Neonatus
              Hipoglikemia simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam kehidupan. Sering menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat pemberian ASI dan bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin. Juga termasuk dalam golongan ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam kehidupan, kebanyakan tidak memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya. Umumnya sembuh spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa di antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300 mikrogram atau 0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.
              Hipoglikemia neonates simtomatik gejalanya tidak khas, misalnya : apati, anoreksia, hipotoni, apneu, sianosis, pernapasan tidak teratur, kesadaran menurun, tremor, kejang tonik/klonik, menangis tidak normal dan cengeng. Kebanyakan gejala pertama timbul sesudah 24 - 48 jam kehidupan.
2)  Bayi/Anak
              Gejala-gejala dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric tidak terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng, ataksia, strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan tingkah laku.
              Hipoglikemia bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan takikardi.Serangan ulang gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu setiap hari, sehingga kita harus waspada terhadap kemungkinan hipoglikemia.Pemeriksaan glucose darah pada saat timbulnya gejala sangat penting.
              Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu diterapkan dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko, gejala yang seringkali muncul :
a.  Tremor
b.  Sianosis
c.  Apatis
d.  Kejang
e.   Apnea intermitten
f.   Tangisan lemah/melengking
g.  Letargi
h.  Kesulitan minum
i.   Gerakan mata berputar/nistagmus
j.   Keringat dingin
k.  Pucat
l.   Hipotermi
m. Refleks hisap kurang
n.  Muntah
5.  Patofisilogi Hipoglikemia
Batasan dikatakan neonates mengalami hipoglikemia:
1.  Timbul bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai usia pasca lahir
2.  Bayi atterm BB 2500 gr : gula darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl
3.  BBLR : GD <25 mg/dl
Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, gangguan pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.
Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
6. Diagnosis Hipoglikemia
   Untuk mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan pengobatan tepat waktu untuk hipoglikemia adalah sangat penting.Pemantauan glukosa di tempat tidur adalah tindakan tepat untuk penapisan dan deteksi awal.Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium jika memungkinkan, dan juga dengan anamnesis, antara lain :
a.    Riwayat bayi  menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan
b.    Riwayat bayi prematur
c.    Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d.   Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e.    Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f.     Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g.    Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia
-   Bayi dari ibu diabetes (IDM)
-   Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
-   Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)
-   Bayi prematur dan lewat bulan
-   Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
-   Bayi puasa
-   Bayi dengan polisitemia
-   Bayi dengan eritroblastosis
-   Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker
   Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias whipple’s yaitu :
a.  Manifestasi  klinis yang khas
b.  Kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat dengan metode yang peka dan tepat
c.  Gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah normoglikemia.
   Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi.
1) Pemeriksaan laboratorium :
a.  Kadar glukosa serum
·      Diperiksa dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36, dan 48 jam
·      Pengukuran <45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran serum glukosa
b.  Kadar serum kalsium
·      Pada usia 6, 24 dan 48 jam
·      Jika kadar serum kalsium rendah, kadar serum magnesium harus diukur
c.  Hematokrit
     Pada saat lahir dan pada usia 24 jam
d.  Kadar serum bilirubin
     Sesuai indikasi pemeriksaan fisis
e.  Tes lain
·      Kadar gas darah arteri
·      Hitungan sel darah lengkap (CBC), kultur dan pewarnaan gram dilakukan sesuai indikasi klinis
2.  Pemeriksaan radiologi
     Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung, pernafasan atau kerangka
3.  Electrocardiography dan echocardiography
     Jika dicurigai adanya hypertropic cardiomyopathy atau malformasi jantung
7. Penatalaksanaan Hipoglikemia
1) Memantau kadar glukosa darah
     Semua neonatus berisiko tinggi harus ditapis :
a.  Pada saat lahir
b.  30 menit setelah lahir
c.  Kemudian setiap 2-4 jam selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik dan kadar glukosa normal tercapai
2)  Pencegahan hipoglikemia
a.  Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia
b.  Pemberian makan enteral merupakan tindakan preventif tunggal paling penting
c.  Jika bayi tidak mungkin menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam setelah lahir
d.  Neonatus yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya penuh dan 3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL
e.  Jika ini gagal, terapi intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau
3) Perawatan hipoglikemia
a. Koreksi segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan diberikan melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan
b.  Infus tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus dimulai
c.  Kecepatan infus glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :

     GIR (mg/kg/min) = kecepatan cairan (cc/jam) x konsenterasi dextrose(%)
                                                                     6x berat (Kg) e
d.  Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan untuk memastikan bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai
e.  Ketika pemberian makan telah dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di tempat tidur (bed side) sudah normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap. Tindakan ini mungkin memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari kambuhnya hipoglikemia
5)  Hipoglikemia refraktori
     Kebutuhan glukosa >12 mg/kg/menit menunjukan adanya hiperinsulinisme. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan :
a.  Hidrokortison 5 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam
b.  Glukagon 200 ug IV (segera atau infus berkesinambungan 10 ug/kg/jam)
c.  Diazoxide 10 mg/kg/hari setiap 8 jam menghambat sekresi insulin pancreas




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961). BBLR dibedakan menjadi Prematuritas murni dan  Retardasi.
            Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur  pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis. Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia
            Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi.
            Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
            Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
            Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah  36,5o-37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan tangan  teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah  mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36C). Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C
            Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal
            Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
B. Saran
                   Resum kondisi bayi pasca persalinan harus dilakukan dengan baik. Ketidak akuratan dalam proses pengkajian dapat menyebabkan tidak diketahuinya kelainan dan resiko kelainan pada bayi.


DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.
Doengoes, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Anak.Yogyakarta: Nuha Medika
Hanifa Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjio, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.
Rukiyah dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Trans Info Media
Sarwono Prawiroharjo. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina.
Staf Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika
Sudarti.2010. Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha Medika.
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
 Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar