BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut hasil berbagai survei, tinggi
rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) disuatu Negara
dapat dilihat dari kemampuan untuk memberikan pelayanan obstetric yang bermutu
dan menyaluruh.Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan
dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan
pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus
menerus.
Upaya Menurunkan AKI dan AKB. Departemen Kesehatan
menargetkan angka kematian ibu pada 2010 sekitar 226 orang dan pada tahun 2015
menjadi 102 orang per tahun. Untuk mewujudkan hal ini, salah satu upaya
terobosan dan terbukti mampu meningkatkan. Sedangkan
penyebab kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian
minum 10%, tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13%
(Rachmawaty, 2006 : 1)Upaya menurunkan AKI dan AKB beberapa upaya telah
dilakukan.
Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia
masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per
100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000Menurut data Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan Jaminan Persalinan ini adalah
meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter
atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB (Angka Kematian Bayi) melalui
jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan BBLR?
2.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum?
3.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom?
4.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia?
5.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat?
6.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan hipotermi?
7.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan hipertermi?
8.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan tetanus neonatorum?
9.
Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko
tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan BBLR
2.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum
3.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom
4.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia
5.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat
6.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hipotermi
7.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hipertermi
8.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum
9.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR.
BAB II
PEMBAHASN
A. BBLR
1. Pengertian BBLR
Bayi
berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500
gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).
BBLR dibedakan
menjadi :
1. Prematuritas
murni
Yaitu bayi pada
kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai.
2. Retardasi
pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)
Yaitu bayi yang
lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.
2. Etiologi BBLR
Penyebab
kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang
berhubungan, yaitu :
1. Faktor ibu
§ Gizi saat
hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun
§ Jarak
hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
2. Faktor
kehamilan
§ Hamil
dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
§ Komplikasi
kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3. Faktor janin
§ Cacat
bawaan, infeksi dalam rahim
4. Faktor
Lingkungan
§ Tempat
tinggal didataran tinggi
§ Radiasi
§ Zat-zat
beracun
3. Komplikasi
BBLR
Komplikasi
yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, terutama
berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:
· Sistem
Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom
distres respirasi, penyakit membran hialin
· Sistem
Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus,
· Termoregulasi: Hipotermia,
· Glukosa: Hipoglikemia
simtomatik
· Hiperbilirubinemia,
, perdarahan ventrikel otak, anemia
· Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing
enterocolitis (NEC)
· Bronchopulmonary dysplasia,
malformasi konginetal
4. Pemeriksaan Penunjang BBLR
Analisa Gas Darah
5. Penatalaksanaan Medis BBLR
Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang berhubungan dengan 4 proses
adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:
· Sistem
Kardiovaskuler: Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
· Termoregulasi :
Pengaturan suhu, perawatan bayi dalam inkubator
· Glukosa (Hiperglikemia): Penyuntikan
disusul pemberian infuse glukosa
· Keseimbangan cairan dan elektrolit,
pemberian nutrisi yang cukup
· Pengelolaan hiperbilirubinemia,
penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat
6. Prognosis BBLR
Kematian
perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali lebih besar dari pada bayi
normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis lebih buruk lagi apabila berat
badan lebih rendah. Angka kematian yang tinggi terutama disebabkan adanya
kelainan komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, pendarahan
intrakanial dan hipoglikemia. Bila bayi selamat kadang-kadang dijumpai
kerusakan pada syaraf dan dijumpai gangguan bicara, IQ yang rendah dan gangguan
lainnya.
7. Cara Perawatan Bayi dalam Inkubator
Merupakan
cara memberikan perawatan pada bayi dengan dimasukkan ke dalam alat yang
berfungsi membantu terciptanya suatu lingkungan yang cukup dengan suhu yang
normal. Dalam pelaksanaan perawatan di dalam inkubator terdapat dua cara yaitu
dengan cara tertutup dan terbuka.
a. Inkubator
tertutup:
1) Inkubator
harus selalu tertutup dan hanya dibuka dalam keadaan tertentu seperti apnea,
dan apabila membuka incubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan oksigen harus
selalu disediakan.
2) Tindakan
perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.
3) Bayi harus
keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi.
4) Pengaturan
panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.
5) Pengaturan
oksigen selalu diobservasi.
6) Inkubator
harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27 derajat
celcius.
b. Inkubator
terbuka:
1) Pemberian
inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian perawatan pada bayi.
2) Menggunakan
lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan kehangatan.
3) Membungkus
dengan selimut hangat.
4) Dinding
keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara.
5) Kepala bayi
harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala.
6) Pengaturan
suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai dengan ketentuan di bawah
ini
B. Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di
dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat)
dan asidosis.
2. Patofisiologi Asfiksia
Neonatorum
Penyebab
asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan
iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin.
Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
3. Gejala Klinik Asfiksia
Neonatorum
Bayi
tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit,
kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks
rangsangan.
4. Diagnosis Asfiksia
Neonatorum
Pemeriksaan
fisik :
Nilai Apgar
Klinis
|
0
|
1
|
2
|
Detak jantung
|
Tidak ada
|
< 100 x/menit
|
>100x/menit
|
Pernafasan
|
Tidak ada
|
Tak teratur
|
Tangis kuat
|
Refleks saat jalan nafas dibersihkan
|
Tidak ada
|
Menyeringai
|
Batuk/bersin
|
Tonus otot
|
Lunglai
|
Fleksi ekstrimitas (lemah)
|
Fleksi kuat gerak aktif
|
Warna kulit
|
Biru pucat
|
Tubuh merah ekstrimitas biru
|
Merah seluruh tubuh
|
Nilai: 0-3 : Asfiksia
berat
Nilai 4-6 : Asfiksia
sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan
pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis,bukan untuk
memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa
gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi
berbagai organ yaitu :
- Otak
: hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
- Jantung dan paru : hipertensi pulmonal
persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
- Gastrointestinal : enterokolitis
nekrotikans
- Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
- Hematologi : DIC
5. Penatalaksanaan Asfiksia
Neonatorum
a. Resusitasi kardio pulmonal
b. Terapi medikamentosa :
1) Epinefrin : Denyut
jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan pemijatan dada. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000
(0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5
menit bila perlu.
2) Bikarbonat, 1-2 mEq/kg
BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%). Diencerkan
dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit.
3) Nalokson: 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Intravena,
endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau
s.c
c. Suportif
· Jaga kehangatan.
· Jaga saluran napas agar tetap bersih dan
terbuka.
· Koreksi gangguan
metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
d. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl
0,9%, Ringer Laktat,
C. Sindrom Gangguan Pernafasan
1. Defenisi Sindrom Gangguan Pernafasan
Sindrom gawat nafas neonatus
merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu
ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi (
Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyakit Membran Hialin (PMH)
2. Etiologi Sindrom Gangguan
Pernafasan
Penyebab kelainan ini adalah
kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH sering
kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak
kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
3. Patofisiologi Sindrom Gangguan Pernafasan
Penyebab PMH adalah surfaktan
paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru
dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak.
Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi
surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan
tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi
yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga
terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
4. Prognosis Sindrom Gangguan Pernafasan
Prognosis bayi dengan PMH
terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh
mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang
tidak menderita PMH.
5. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan
PMH umumnya terjadi pada bayi
prematur dengan berat badan 1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu.
Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala
yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.
6. Pemeriksaan Diaknostik Sindrom Gangguan
Pernafasan
a.
Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan
oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan
pemeriksaan foto thoraks.
b.
Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap,
analisis gas darah dan elektrolit.
7. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan
Tindakan yang perlu dilakukan :
a.
Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus
dalam batas normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
b.
Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena
terpengaruh kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak
menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
c.
Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk
mempertahankan hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan
glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
d.
Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
Penisilin dengan dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg /
kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
e.
Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah
pemberian surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar).
D. Hiperbilirubinemia
1. Definisi Hiperbilirubinemia
Ikterus
adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis,
ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13
mg/dL.
Pada
bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis (Timbul
dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali:
·
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL
atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
·
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
·
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
·
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
·
Terdapat faktor risiko.
Efek
toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin
dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya
tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat
terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap
1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2
(pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap
3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni,
motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan,
kehilangan pendengaran sensorial.
2. Etiologi dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia
a) Etiologi
Peningkatan
kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena hemolisis yang
disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim
glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) ->
penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
·
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya
enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
·
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus
nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
·
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi
Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
·
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran
kemih, infeksi intra uterin.
·
Polisitemia.
·
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma
lahir.
·
Ibu diabetes.
·
Asidosis.
·
Hipoksia/asfiksia.
·
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
b) Faktor Risiko
Faktor risiko untuk
timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia,
Native American,Yunani)
·
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
·
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
·
ASI
b. Faktor
Perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
·
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
·
Faktor genetik
·
Polisitemia
·
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol,
sulfisoxazol)
·
Rendahnya asupan ASI
·
Hipoglikemia
·
Hipoalbuminemia
3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Bilirubin
pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah
itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
a. Ikterus fisiologis
Secara
umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun
kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus
fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar
bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan
dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah
lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan
bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola
ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor
lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum
yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang
sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak
bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan
pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan
bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi
80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar
yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus pada bayi
mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada
sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI
yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan
faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan
frekuensi ditambah.
Apabila
keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus
meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
4. Penegakan Diagnosis Hiperbilirubinemia
a. Visual
Metode
visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit
berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih
boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera
dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO
dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
·
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di
siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah
bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan
yang kurang.
·
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan
bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta
untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel
serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin
direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2
minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer
adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan
bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang
dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan
bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen
kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral
reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan
dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe
dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui
akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di
Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada
penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum
>14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB
dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat
digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB
dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya
pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil
analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa
pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan
skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah
terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
d. Pemeriksaan
bilirubin bebas dan CO
Bilirubin
bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum
yang rendah.
Beberapa
metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan
reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi
tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus
neonatorum akan lebih terarah.
Seperti
telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi
bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan
Ikterus
Usia
|
Kuning terlihat
pada
|
Tingkat
keparahan ikterus
|
Hari 1
Hari 2
Hari 3
|
Bagian tubuh
manapun
Tengan dan tungkai * Tangan dan kaki |
Berat
|
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari
pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua,
maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar
secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk
memulai terapi sinar.
5. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologis
Bayi
sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang
sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
·
Minum ASI dini dan sering
·
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
·
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan
ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin
serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis
dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
·
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat
lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau
sepsis
·
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan
hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
·
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya
terapi sinar, hentikan terapi sinar.
·
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai
dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
·
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan
penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan
uji saring G6PD bila memungkinkan.
·
Tentukan diagnosis banding
b. Tata laksana Hiperbilirubinemia
1) Hemolitik
Paling
sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO
antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk
keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila nilai
bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
·
Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
·
Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi
tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs
positif, segera rujuk bayi.
·
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah
terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
·
Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
·
Persiapkan transfer.
·
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan
fasilitas transfusi tukar.
·
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
·
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning,
mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
·
Nasihati ibu:
·
Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus,
pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena
berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
·
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu
untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada
bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,
kamfer/mothballs, favabeans).
·
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan
transfusi darah.
·
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi
cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg
atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan
(prolonged jaundice).
·
Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin
setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit <
24%), berikan transfusi darah.
2) Ikterus Berkepanjangan
(Prolonged Jaundice)
Diagnosis ditegakkan apabila
ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada
neonatus kurang bulan.
·
Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari penyebab.
·
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap,
persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus
untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
·
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis
kongenital.
6. Pencegahan Hiperbilirubinemia
Perlu
dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas
ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
a. Primer
AAP
merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup
bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan
bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya
asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan
dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat
menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus.
Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang
baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b. Sekunder
Dokter
harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko
tinggi ikterus neonatorum.
1) Pemeriksaan
Golongan Darah
Semua
wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani
pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu
adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika
darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
2) Penilaian
Klinis
Dokter
harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi
terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata
laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam
bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada
bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam
ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian
ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki
angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah,
kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
E. Pendarahan Tali
Pusat
1. Pengertian
Pendarahan Tali Pusat
Perdarahan
yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan
tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal.
Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi.
2. Etiologi Pendarahan
Tali Pusat
1) Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a. Patus precipitates
b. Adanya trauma atau
lilitan tali pusat
c. Umbilikus pendek,
sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat persalinan
d. Kelalaian penolong
persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea
2) Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a. Adanya hematoma pada
umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat
berbahaya bagi bayi dan dapat menimbulkan
kematian pada bayi
b. Varises juga dapat
menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c. Aneurisma pembuluh
darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan
atau terjadi kemunduran dinding pembuluh
darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.
3) Robekan pembuluh darah abnormal
Pada kasus
dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik
pembuluh darah seperti :
a.
Pembuluh darah aberan yang mudah pecah
karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jely Wharton
b.
Insersi velamentosa tali pusat, dimana
pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta
tidak adda proteksi. Umbilikus dengan
kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c. Placenta multilobularis, perdarahan terjadi
pembuluh darah yang menghubungkan masing- masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat
rapuh dan mudah pecah
4) Perdarahan akibat placenta
previa dan abrotio placenta
Perdarahan
akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia,
sedangkan pada kasus abrutio placenta
lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi
anoreksia.
Pengamatan
pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan
placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
3.
Penatalaksanaan Pendarahan Tali
Pusat
a.
Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari
perdarahan tali pusat yang terjadi
b.
Untuk penanganan awal, harus dilakukan
tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.
c.
Segera lakukan inform consent dan inform
choise pada keluarga pasien untuk dilakukan rujukan.
F. Konsep Dasar Hipotermia
1. Definisi Hipotermia
Beberapa
definisi hipotermia dari beberapa sumber :
a.
Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi dengan suhu badan dibawah
normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah 36,5o-37,5oC.
Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua
kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin
maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36o C).
Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan
termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C.
b.
Menurut Indarso
F(2001), disamping sebagai suatu gejala,hipotermia merupakan awal penyakit
yang berakhir dengan kematian.
c.
Menurut Sandra M.T (1997),hipotermi
yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti turun sampai dibawah 35o C.
2. Klasifikasi Hipotermia
a. Hipotermi spintas.
Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c
sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali setelah bayi berumur 4-8
jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya. Hipotermi sepintas ini terdapat
pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama, ruangan tempat bersalin yang
dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir terlalucepat di mandikan (kurang
dari 4 -6 jam sesudah lahir).
b. Hipotermi akut.
Terjadi bila bayi berada di
lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat pada bayi dengan BBLR, diruang
tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup panas. Terapinya adalah:
segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang suhunya sudah menurut
kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di awasi secara teliti.
Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat serta kedu kaki
dingin.
c. Hipotermi sekunder
Penurunan suhu tubuh yang tidak di
sebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti
sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit jantung bawaan yang berat,hipoksia
dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan mengobati penyebab Misalnya: pemberian
antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan sebagainya.
d. Cold injuri
Yaitu hipotermi yang timbul karena
terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum,
badan dingin, oligoria , suhu berkisar sekitar 29,5◦c-35◦c, tidak banyak
bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan, kaki dan muka, seolah-olah dalam
keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.
3. Etiologi Hipotermi
Penyebab
terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :
a.
Jaringan lemak subkutan tipis.
b.
Perbandingan luas permukaan tubuh
dengan berat badan besar.
c.
Cadangan glikogen dan brown fat
sedikit.
d.
ayi baru lahir tidak ada respon
shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan.
e.
Kurangnya pengetahuan perawat dalam
pengelolaan bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia.
f.
Bayi dipisahkan dari ibunya segera
mungkin setelah lahir.
g.
Berat lahir bayi yang kurang dan
kehamilan prematur.
h.
Tempat melahirkan yang dingin.
i.
Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi
yang lama, sepsis, sindrom dengan pernapasan, hipoglikemia
perdarahan intra kranial.
Faktor
pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992 :
a.
Faktor lingkungan.
b.
Syok.
c.
Infeksi.
d.
Gangguan endokrin metabolik.
e.
Kurang gizi
f.
Obat-obatan.
g.
Aneka cuaca
Mekanisme hilangnya panas pada bayi
yaitu :
a.
Radiasi adalah panas yang hilang
dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang dingin. Misal BBL diletakkan
ditempat yang dingin.
b.
Konduksi adalah pindahnya panas
tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung
diganti.
c.
Konveksi adalah hilangnya panas dari
bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL diletakkan dekat pintu atau jendela
terbuka.
d.
Evaporasi adalah hilangnya panas
akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya cairan amnion pada bayi
4. Patofisiologi Hipotermi
Sewaktu
kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur
panas di hipothalamus. Saraf yang
dari hipothalamus sewaktu mencapaib rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga
trigliserida dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak secara
lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi
panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah.
Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan
oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga
tubuh tetap hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas
dari sistem syaraf sentral,kecukupan darib r
own fat, dan tersedianya
glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada
sistem syaraf pusat antara lain depresi linier dari metabolisme otak,
amnesia, apatis, disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi yang
salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi
pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan
autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang
hilang, dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG.
Bayi
hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal pada bayi
neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama
dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang
dari 36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.
5. Tanda
dan Gejala Hipotermi
a. Berikut beberapa gejala bayi terkena hipotermia,yaitu :
1)
Suhu tubuh bayi turun dari
normalnya.
2)
Bayi tidak mau minum atau menetek.
3)
Bayi tampak lesu atau mengantuk
saja.
4)
Tubub bayi teraba dingin.
5)
Dalam keadaan berat denyut jantung
bayi menurun dan kulit tubuh mengeras (sklerema).
6)
Kulit bayi berwarna merah muda dan
terlihat sehat.
7)
Lebih diam dari biasanya.
8)
Hilang kesadaran.
9)
Pernapasannya cepat.
10)
Denyut nadinya melemah.
11)
Gangguan penglihatan.
12)
Pupil mata melebar (dilatasi) dan
tidak bereaksi.
b. Berikut
adalah tanda terjadinya hipotermia
Tanda-tanda
hipotermia sedang :
1)
Aktifitas berkurang.
2)
Tangisan lemah.
3)
Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata).
4)
Kemampuan menghisap lemah.
5)
Kaki teraba dingin.
6)
Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin.
c. Tanda-tanda
hipotermia berat :
1)
Aktifitas berkurang,letargis.
2)
Bibir dan kuku kebiruan.
3)
Pernafasan lambat.
4)
Bunyi jantung lambat.
5)
Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan
asidosis metabolik.
6)
Risiko untuk kematian bayi.
d. Tanda-tanda
stadium lanjut hipotermia :
1)
Muka,ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
2)
Bagian tubuh lainnya pucat.
3)
Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung,kaki
dan tangan(sklerema).
6. Komplikasi
Hipotermi yang terjadi pada bayi
apabila tidak tertangani dengan tepat akan menyebabkan beberapa gangguan yang
akan menyertai yakni:
a.
Gangguan sistem saraf pusat:
koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
b.
Cardiovascular: penurunan tekanan
darah secara berangsur, menghilangnya tekanan darah sistolik
c.
Pernafasan: menurunnya konsumsi
oksigen
d.
Saraf dan otot: tidak adanya
gerakan, menghilangnya reflex perifer
7. Penatalaksanaan
a. Penanganan
hipotermia secara umum untuk bayi
Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah
terkendali dengan baik. Bayi bisa kehilangan suhu tubuh secara cepat dan
terkena hipotermi dalam kamar yang dingin. Bayi yang mengalami hipotermi harus
dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa cara penanganan hipotermia untuk
bayi :
1)
Hangatkan bayi secara bertahap.
Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah tubuhnya dengan selimut tebal.
2)
Pakaikan topi dan dekaplah si kecil
agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.
b. Beberapa
hal yang harus diperhatikan antara lain :
1)
Jangan menempelkan sumber panas
langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit anak. Anak harus menjadi
hangat secara bertahap.
2)
Jika anak hilang kesadaran,bukalah
saluran udaranya dan periksa pernapasannya. Jika anak bernapas,baringkan ia
pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah bantuan pernapasan dan
kompresi dada. Telepon Ambulans.
c. Prinsip Dasar Untuk Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir
1)
setiap bayi lahir harus segera
dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut
dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan
cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk yang basah harus
diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
2)
Setelah tubuh bayi kering segera
dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos tangan dan kaki.
Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan
kehangatan dari dekapan ibu.
3)
Memberi ASI sedini mungkin segera
setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks dan
bayi mendapat kalori.
4)
Mempertahankan bayi tetap hangat
selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
5)
Memberikan penghangatan pada
bayi baru lahir secara mandiri.
6)
Melatih semua orang yang terlibat
dalam pertolongan persalinan.
7)
Menunda memandikan bayi baru lahir
sampai suhu tubuh bayi stabil.
G. Hipertermi
1. Pengertian Hipertermi
Hipertermia adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus
menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan
kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal (blogAsuhanKeperawatan.com).
Hipertermia adalah suhu tubuh yang
tinggi dan bukan disebabkan oleh mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan
keperawatan.com.I Ziddu.com)
2. Etiologi Hipertermi
Disebabkan oleh meningkatnya
produksi panas andogen (olahraga berat, Hipertermia maligna, Sindrom
neuroleptik maligna, Hipertiroiddisme), Pengurangan kehilangan panas, atau
terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas)
3. Gejala Hipertermi
1) Suhu
badan tinggi (>37,5°C)
2) Terasa
kehausan.
3) Mulut
kering
4) Kedinginan,lemas
5) Anoreksia
(tidak selera makan)
6) Nadi
cepat.
7) Pernafasan
cepat (>60X/menit)
8) Berat
badan bayi menurun
9) Turgor
kulit kurang
a. Bila suhu diduga karena paparan panas
berlebihan:
·
Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk
dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C
·
Tubuh bayi diseka dengan kain basah
sampai suhu tubuh bayi normal (jangan menggunakan air es).
·
Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4
secara intravena sampai dehidrasi teratasi
·
Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
·
Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator,
buka incubator sampai suhu dalam batas normal
·
Lepas sebagian atau seluruh pakaian
bayi selama 10 menit kemudian
·
Beri pakaian lagi sesuai dengan alat
penghangat yang digunakan
·
Periksa suhu bayi setiap jam sampai
tercapai suhu dalam batar normal
·
Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan
sesuaikan pengatur suhu
c. Manajemen
lanjutan suhu lebih 37,5°C
1) Yakin bayi mendapatkan masukan cukup cairan
a) Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi
tidak dapat menyusui, beri ASI panas dengan salah satu alternative cara
pemberian minum
b) Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani
dehidrasinya
2) Setelah
suhu bayi normal:
a) Lakukan perawatan lanjutan
b) Pantau
bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam
3) Bila
suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak
ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan, nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari
pancaran panas yang berlebihan
1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat
menyusu, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan
alternative
2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau
fontanel cekung, kehilangan elastisitas kulit, atau lidah atau membran mukosa
kering)
a) Pasang
slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia bayi
b) Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat
badan bayi pada hari pertama dehidrasi terlihat
e. Ukur glukosa darah, jika glukosa darah
kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi glukosa darah yang rendah.
H. Tetanus Neonaturum
1.
Pengertian Tetanus Neonaturum
Kata
tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus yang berarti kencang
atau tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik
paralisis yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Tetanus berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk,
yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk
tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus generalisasi dan
jugamerupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya Neonatal (berasal
dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti
lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan
masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan
suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.
Tetanus
Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus).
Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan
karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa
neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan
tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Tetanus
neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan
oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) yang
menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)
Tetanus
Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium
Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang
kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari,
kriteria kasus TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan,
dapat terjadi sejak umur 3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S,
1995).
Tetanus
neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah namun dapat
berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari kuman Clostridium
tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan toksin
yang dapat menyerang sistem syaraf pusat.
2.
Etiologi Tetanus Neonaturum
Penyebabnya
adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob,
berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang
dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin
yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Masa
inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada
tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus
Neonatorum. (Sudarjat S, 1995).
3.
Faktor Resiko Tetanus Neonaturum
a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan,
atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
b) Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.
c) Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.
4.
Epidemiologi Tetanus Neonaturum
Clostridium
tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak
dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang
(drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan
yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan
dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan
tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah,
air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
5.
Patologi Tetanus Neonaturum
Kelainan
patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang, dan terutama
pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus laring
pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh
langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain
ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin
sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
6.
Gambaran Klinik Tetanus Neonaturum
Masa
tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika infeksinya
ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi
nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Pada
tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat. Anamnesis
sangat spesifik yaitu :
a.
Bayi tiba-tiba panas dan tidak
mau minum (karena tidak dapat menghisap).
b.
Mulut mencucu seperti mulut
ikan.
c.
Mudah terangsang dan sering
kejang disertai sianosis.
d.
Kaku kuduk sampai opistotonus.
e.
Dinding abdomen kaku, mengeras
dan kadang-kadang terjadi kejang.
f.
Dahi berkerut, alis mata
terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus sardonikus
g.
Ekstermitas biasanya terulur
dan kaku.
h.
Tiba-tiba bayi sensitif
terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis lemah.
7.
Pencegahan Tetanus Neonaturum
a. Melaui pertolongan persalinan tiga
bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih alat .
1) Bersih tangan
Sebelum menolong persalinan, tangan
poenolong disikat dan dicuci dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku
dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci
tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan pelindung merupakan kunci
untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.
2)
Bersih alas
Tempat atau alas yang dipakai untuk
persaliunan harus bersih, karena clostrodium tetani bisa menular dari saluran
genetal ibu pada waktu kelahiran..
3)
Bersih alat
Pemotongan tali pusat harus menggunakan
alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan
kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua menggunakan otoklaf
: 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika
alat tidak dibungkus.
b.
Perawatan tali pusat yang baik
Untuk perawatan tali pusat baik
sebelum maupun setelah lepas, cara yang murah dan baik yaitu mernggunakan
alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang telah dibasahi dengan alkohol
dibungkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi
dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres alkohol
ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 – 5 hari).
Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena
akan terjadi infeksi.
c.
Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil
Kekebalan terhadap tetanus
hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan
imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri,
antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta,
masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan
mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil
diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta
jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi
tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan
kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus
dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan
mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan
antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
TT adalah antigen yang sangat
aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu
hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT
tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka
yang tidak mendapatkan imunisasi .
8.
Penatalaksanaan Tetanus Neonaturum
1.
Mengatasi kejang
Kejang dapat diatasi dengan mengurangi
rangsangan atau pemberian obat anti kejang. Obat yang dapat dipakai adalah
kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30
– 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan per os dengan dosis maksimum 10 mg per
hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral,
kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain
adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg BB. Obat anti kejang yang
lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat rektum.
2.
Pemberian antitoksin
Untuk mengikat toksin yang masih bebas
dapat diberi A.T.S (antitetanus serum) dengan dosis 10.000 satuan setiap hari
serlama 2 hari .
3.
Pemberian antibiotika
Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan
penisilin 200.000 satuan setiap hari dan diteruskan sampai 3 hari panas turun.
4.
Perawatan Tali pusat
Tali pusat dibersihkan atau di kompres
dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.
5.
Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah
bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul
adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot
pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot
faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan
terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi
kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap
kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
a.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah
bahunya.
b.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2
L/menit jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan
lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c.
Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang
dan memudahkan penghisapan lendirnya.
d.
Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan
pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
e.
Observasi tanda vital setiap ½ jam .
f.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam
keadaan hangat.
g.
Jika bayi menderita apnea :
a) Hisap lendirnya sampai bersih
b) O2 diberikan lebih besar (dapat
sampai 4 L/ menit)
Letakkan bayi di atas tempat
tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di
tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 – 6
x/menit.
Bila belum berhasil cabutlah
sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian
secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.
6.
Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan
payah, untuk memenuhi kebutuhan makananya perlu diberikan infus dengan cairan
glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan
bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik,
kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan
selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara
bertahap.
7.
Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit
Kedua orang tua pasien yang bayinya
menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat,
maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini
tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan
hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya
di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya mikrodruip).
Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar meminta
suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan
persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran
Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.
I. Hipoglikemia
1. Pengertian
Hipoglikemia
Hipoglikemia
adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal
rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara
bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa
darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau
ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus
umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi
glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa
darah yang menurun.
Hipoglikemia
(hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah berkurangnya secara
abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat dan sakit kepala apabila
kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf pusat
(KamusKedokteran Dorland:2000).
Hipoglikemia neonatorum adalah masalah pada
bayi dengan kadarglukosa darah kurang dari 40 -45mg/dl (Sudarti &
Khoerunnisa,Endang : 2010)
Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi
di bawah kadar rata-rata bayi seusia & berat badan aterm (2500 gr atau
lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl pada hari berikutnya.
Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum
untuk diagnosis Hipoglikemia pada berbagai kelompok umur anak :
Kelompok Umur
|
Glokuse <mg/dl
|
Darah Plasma/serum
|
Bayi/anak
Neonatus
* BBLR/KMK
* BCB
0 - 3 hr
3 hr
|
<40 mg/100 ml
<20 mg/100 ml
<30 mg/100 ml
<40 mg/100 ml
|
<45 mg/100 ml
<25 mg/100 ml
<35 mg/100 ml
<45 mg/100 ml
|
Hipoglikemia pada neonates :
a.
Untuk setiap neonatus manapun,
kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal
b.
Menurut WHO hipoglikemi adalah
bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL
c.
Gejala sering tidak jelas/asimptomatik,
semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai kemungkinan adanya hipoglikemia
d.
Diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius
2. Frekuensi Hipoglikemia
Di
Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi
baru lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir
dari ibu diabetes 8%-25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko
tinggi 30% terjadi hipoglikemia.
Frekuensi
hipoglikemia pada bayi/neonates belum diketahui pasti.Namun di amerika
dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutberlet dan Cornblath
melaporkan frekuensi hipoglikemia 4,4 per 1000 BBLR. Hanya 200-240 penderita
hipoglikemia persisten maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk rumah
sakit.Angka ini berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 23
per 1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat berjumlah
80.000 pertahun.
3. Etiologi Hipoglikemia
Hipoglikemia
dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control pada metabolism
glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan keseimbangan
endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.
Hipoglikemia biasanya
terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki cadangan glukosa yang
rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab lainnya adalah:
1. Prematuritas
2. Post-maturitas
3. Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi
berada dalam kandungan.
Hipoglikemia juga bisa terjadi
pada bayi yang memiliki kadar insulin tinggi.Bayi yang ibunya menderita
diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang tinggi karena ibunya memiliki
kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula darah ini melewati plasenta
dan sampai ke janin selama masa kehamilan. Akibatnya, janin menghasilkan
sejumlah besar insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan pada bayi yang
menderita penyakit hemolitik berat.
Kadar insulin yang tinggi
menyebabkan kadar gula darah menurun dengan cepat pada jam-jam pertama
kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula dari plasenta secara
tiba-tiba terhenti.
Hipoglikemia pada neonates biasa
disebabkan oleh penyebab-penyebab di atas, namun bila hipoglikemia neonates
tadi berulang/menetap, dapat dipikirkan penyebab sebagai berikut :
1) Hormon Excess-hyperinsulinsm
a. Exomphalos, macroglossia,
gigantism syndrome of beckwith wiedemann
b. “infant giants”
c. Kelainan patologik sel
beta
2) Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan
defisiensi hormone multipel
3) Defek metabolism
karbohidrat heriditer
4) Defek metabolism asam amino herediter
Factor
resiko :
1. Hipoglikemi
sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa rendah.
2. Bayi yang besar untuk masa
kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi
glukosa yang abnormal.
3. Bayi
premature atau lebih bulan.
4. BBLR
yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak
tubuh.
5. Bayi sakit berat karena
meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan kalori
6. Neonates yang sakit atau stress
(sindrom gawat nafas,hipotermi)
7. Bayi
dengan polisemia
8. Bayi
yang dipuasakn
9. Bayi
dengan kelainan genetic/gangguan metabolic (penyakit cadangan glycogen,
intoleransi glukosa).
10. Obat-obat maternal misalnya
steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker.
11. Pada ibu diabetes mellitus (DM)
terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respons insulin
juga meningkat pada janin.
4. Manifestasi
Klinis Hipoglikemia
Hipoglikemia
walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan merupakan problem bagi
dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :
Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk
membuat diagnosis tergantung pada indeks kepekaan yang tinggi.
Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan
kompleks.
Pada
bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula darah
kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan merangsang
pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah, elisah,
keringat dingin, gemetar dan takikardi.
Gejala
hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu : berasal
dari system syaraf autonomy dan berhubungan dengan kurangnya suplay glukosa
pada otak (neuroglikopenia). Gejala akibat dari system syaraf autonomy adalam
berkeringat,gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pening,
bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat
konsentrasi.Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan
lemah.Pada neonates tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea
dan sianosis, hipotonia, iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada
tinggi, nafas cepat dan pucat.Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang
tidak hipoglikemia, missal kelainan bawaan pada susunan syaraf pusat, cedera
lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernicterus. Demikian juga dapat terjadi
akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress
respirasi, asfiksia, anomaly kongenital multiple atau defisiensi endokrin.
Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada “glycogen storage disease
type I”.
1) Neonatus
Hipoglikemia
simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam kehidupan. Sering
menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat pemberian
ASI dan bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin. Juga
termasuk dalam golongan ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu
menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM
mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam kehidupan, kebanyakan tidak
memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya. Umumnya sembuh
spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa di
antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300
mikrogram atau 0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.
Hipoglikemia
neonates simtomatik gejalanya tidak khas, misalnya : apati, anoreksia,
hipotoni, apneu, sianosis, pernapasan tidak teratur, kesadaran menurun, tremor,
kejang tonik/klonik, menangis tidak normal dan cengeng. Kebanyakan gejala
pertama timbul sesudah 24 - 48 jam kehidupan.
2) Bayi/Anak
Gejala-gejala
dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric tidak
terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng,
ataksia, strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan
tingkah laku.
Hipoglikemia
bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan takikardi.Serangan ulang
gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu setiap hari,
sehingga kita harus waspada terhadap kemungkinan hipoglikemia.Pemeriksaan
glucose darah pada saat timbulnya gejala sangat penting.
Kasus
bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu diterapkan
dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko, gejala
yang seringkali muncul :
a. Tremor
b. Sianosis
c. Apatis
d. Kejang
e. Apnea intermitten
f. Tangisan lemah/melengking
g. Letargi
h. Kesulitan minum
i. Gerakan mata
berputar/nistagmus
j. Keringat dingin
k. Pucat
l. Hipotermi
m. Refleks hisap kurang
n. Muntah
5. Patofisilogi
Hipoglikemia
Batasan dikatakan
neonates mengalami hipoglikemia:
1. Timbul
bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai usia
pasca lahir
2. Bayi atterm BB 2500 gr : gula
darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl
3. BBLR : GD <25 mg/dl
Setiap stress yang terjadi mengurangi
cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa,
misalnya pada asfiksia, hipotermi, gangguan pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih
besar dibandingkan bayi lain.
Pada asfiksia,
akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai persediaan glukosa.
Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada
keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
6. Diagnosis Hipoglikemia
Untuk
mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan pengobatan tepat
waktu untuk hipoglikemia adalah sangat penting.Pemantauan glukosa di tempat
tidur adalah tindakan tepat untuk penapisan dan deteksi awal.Hipoglikemia harus
dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium jika memungkinkan, dan juga
dengan anamnesis, antara lain :
a.
Riwayat
bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan
b.
Riwayat
bayi prematur
c.
Riwayat
bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d.
Riwayat
bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e.
Riwayat
bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f.
Riwayat
bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g.
Bayi
yang beresiko terkena hipoglikemia
- Bayi dari ibu diabetes (IDM)
- Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
- Bayi yang kecil
untuk masa kehamilan (SGA)
- Bayi prematur dan lewat bulan
- Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
- Bayi puasa
- Bayi dengan polisitemia
- Bayi dengan eritroblastosis
- Obat-obat yang
dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia
secara benar harus dipenuhi trias whipple’s yaitu :
a. Manifestasi klinis yang khas
b. Kejadian
ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara
akurat dengan metode yang peka dan tepat
c. Gejala
klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
normoglikemia.
Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis
hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi.
1) Pemeriksaan
laboratorium :
a. Kadar glukosa serum
·
Diperiksa
dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36,
dan 48 jam
·
Pengukuran
<45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran serum glukosa
b. Kadar serum kalsium
·
Pada
usia 6, 24 dan 48 jam
·
Jika
kadar serum kalsium rendah, kadar serum magnesium harus diukur
c. Hematokrit
Pada saat lahir dan pada usia 24 jam
d. Kadar serum bilirubin
Sesuai indikasi pemeriksaan fisis
e. Tes
lain
·
Kadar
gas darah arteri
·
Hitungan
sel darah lengkap (CBC), kultur dan pewarnaan gram dilakukan sesuai indikasi
klinis
2. Pemeriksaan radiologi
Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung,
pernafasan atau kerangka
3. Electrocardiography
dan echocardiography
Jika dicurigai adanya hypertropic
cardiomyopathy atau malformasi jantung
7. Penatalaksanaan
Hipoglikemia
1) Memantau kadar glukosa darah
Semua
neonatus berisiko tinggi harus ditapis :
a. Pada saat lahir
b. 30 menit setelah lahir
c. Kemudian setiap 2-4 jam
selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik dan kadar glukosa
normal tercapai
2) Pencegahan
hipoglikemia
a. Menghindari
faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia
b. Pemberian makan enteral
merupakan tindakan preventif tunggal paling penting
c. Jika bayi tidak mungkin
menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam
setelah lahir
d. Neonatus
yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya penuh dan
3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL
e. Jika ini gagal, terapi
intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau
3) Perawatan
hipoglikemia
a. Koreksi
segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan diberikan
melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan
b. Infus
tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus
dimulai
c. Kecepatan
infus glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :
GIR
(mg/kg/min) = kecepatan cairan (cc/jam) x konsenterasi dextrose(%)
6x
berat (Kg) e
d. Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan
untuk memastikan bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai
e. Ketika pemberian makan telah
dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di tempat tidur (bed side) sudah
normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap. Tindakan ini mungkin
memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari kambuhnya hipoglikemia
5) Hipoglikemia
refraktori
Kebutuhan
glukosa >12 mg/kg/menit menunjukan adanya hiperinsulinisme. Keadaan ini
dapat diperbaiki dengan :
a. Hidrokortison
5 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam
b. Glukagon
200 ug IV (segera atau infus berkesinambungan 10 ug/kg/jam)
c. Diazoxide
10 mg/kg/hari setiap 8 jam menghambat sekresi insulin pancreas
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi berat
badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram
pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961). BBLR dibedakan menjadi
Prematuritas murni dan Retardasi.
Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di
dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat)
dan asidosis. Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin
dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan
fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian
asfiksia
Sindrom
gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau
hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis,
merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada
saat inspirasi.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning
pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi
bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar
bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Perdarahan
yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan
tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal.
Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi.
Menurut
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi
dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus
adalah 36,5o-37,5oC. Gejala awal pada
hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka
bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36o C).
Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan
termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C
Hipertermia adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus
menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan
kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah
(glukosa) secara abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila
kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan
hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus
tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya
hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh
karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma
masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
B. Saran
Resum
kondisi bayi pasca persalinan harus dilakukan dengan baik. Ketidak akuratan
dalam proses pengkajian dapat menyebabkan tidak diketahuinya kelainan dan
resiko kelainan pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham,
F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.
Doengoes,
Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauziah,
Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan
Anak.Yogyakarta: Nuha Medika
Hanifa
Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjio,
Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.
Rukiyah
dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: Trans Info Media
Sarwono
Prawiroharjo. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono.
2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina.
Staf
Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Infomedika
Sudarti.2010.
Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha Medika.
Supartini,
Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut hasil berbagai survei, tinggi
rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) disuatu Negara
dapat dilihat dari kemampuan untuk memberikan pelayanan obstetric yang bermutu
dan menyaluruh.Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan
dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan
pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus
menerus.
Upaya Menurunkan AKI dan AKB. Departemen Kesehatan
menargetkan angka kematian ibu pada 2010 sekitar 226 orang dan pada tahun 2015
menjadi 102 orang per tahun. Untuk mewujudkan hal ini, salah satu upaya
terobosan dan terbukti mampu meningkatkan. Sedangkan
penyebab kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian
minum 10%, tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13%
(Rachmawaty, 2006 : 1)Upaya menurunkan AKI dan AKB beberapa upaya telah
dilakukan.
Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia
masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per
100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000Menurut data Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan Jaminan Persalinan ini adalah
meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter
atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB (Angka Kematian Bayi) melalui
jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan BBLR?
2.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum?
3.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom?
4.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia?
5.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat?
6.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan hipotermi?
7.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan hipertermi?
8.
Bagaimanakah asuhan pada neonates
resiko tinggi dengan tetanus neonatorum?
9.
Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko
tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan BBLR
2.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum
3.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom
4.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia
5.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat
6.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hipotermi
7.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hipertermi
8.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum
9.
Untuk mengetahui asuhan pada
neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR.
BAB II
PEMBAHASN
A. BBLR
1. Pengertian BBLR
Bayi
berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500
gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).
BBLR dibedakan
menjadi :
1. Prematuritas
murni
Yaitu bayi pada
kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai.
2. Retardasi
pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)
Yaitu bayi yang
lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.
2. Etiologi BBLR
Penyebab
kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang
berhubungan, yaitu :
1. Faktor ibu
§ Gizi saat
hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun
§ Jarak
hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
2. Faktor
kehamilan
§ Hamil
dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
§ Komplikasi
kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3. Faktor janin
§ Cacat
bawaan, infeksi dalam rahim
4. Faktor
Lingkungan
§ Tempat
tinggal didataran tinggi
§ Radiasi
§ Zat-zat
beracun
3. Komplikasi
BBLR
Komplikasi
yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, terutama
berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:
· Sistem
Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom
distres respirasi, penyakit membran hialin
· Sistem
Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus,
· Termoregulasi: Hipotermia,
· Glukosa: Hipoglikemia
simtomatik
· Hiperbilirubinemia,
, perdarahan ventrikel otak, anemia
· Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing
enterocolitis (NEC)
· Bronchopulmonary dysplasia,
malformasi konginetal
4. Pemeriksaan Penunjang BBLR
Analisa Gas Darah
5. Penatalaksanaan Medis BBLR
Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang berhubungan dengan 4 proses
adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:
· Sistem
Kardiovaskuler: Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
· Termoregulasi :
Pengaturan suhu, perawatan bayi dalam inkubator
· Glukosa (Hiperglikemia): Penyuntikan
disusul pemberian infuse glukosa
· Keseimbangan cairan dan elektrolit,
pemberian nutrisi yang cukup
· Pengelolaan hiperbilirubinemia,
penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat
6. Prognosis BBLR
Kematian
perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali lebih besar dari pada bayi
normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis lebih buruk lagi apabila berat
badan lebih rendah. Angka kematian yang tinggi terutama disebabkan adanya
kelainan komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, pendarahan
intrakanial dan hipoglikemia. Bila bayi selamat kadang-kadang dijumpai
kerusakan pada syaraf dan dijumpai gangguan bicara, IQ yang rendah dan gangguan
lainnya.
7. Cara Perawatan Bayi dalam Inkubator
Merupakan
cara memberikan perawatan pada bayi dengan dimasukkan ke dalam alat yang
berfungsi membantu terciptanya suatu lingkungan yang cukup dengan suhu yang
normal. Dalam pelaksanaan perawatan di dalam inkubator terdapat dua cara yaitu
dengan cara tertutup dan terbuka.
a. Inkubator
tertutup:
1) Inkubator
harus selalu tertutup dan hanya dibuka dalam keadaan tertentu seperti apnea,
dan apabila membuka incubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan oksigen harus
selalu disediakan.
2) Tindakan
perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.
3) Bayi harus
keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi.
4) Pengaturan
panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.
5) Pengaturan
oksigen selalu diobservasi.
6) Inkubator
harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27 derajat
celcius.
b. Inkubator
terbuka:
1) Pemberian
inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian perawatan pada bayi.
2) Menggunakan
lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan kehangatan.
3) Membungkus
dengan selimut hangat.
4) Dinding
keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara.
5) Kepala bayi
harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala.
6) Pengaturan
suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai dengan ketentuan di bawah
ini
B. Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di
dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat)
dan asidosis.
2. Patofisiologi Asfiksia
Neonatorum
Penyebab
asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan
iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin.
Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
3. Gejala Klinik Asfiksia
Neonatorum
Bayi
tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit,
kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks
rangsangan.
4. Diagnosis Asfiksia
Neonatorum
Pemeriksaan
fisik :
Nilai Apgar
Klinis
|
0
|
1
|
2
|
Detak jantung
|
Tidak ada
|
< 100 x/menit
|
>100x/menit
|
Pernafasan
|
Tidak ada
|
Tak teratur
|
Tangis kuat
|
Refleks saat jalan nafas dibersihkan
|
Tidak ada
|
Menyeringai
|
Batuk/bersin
|
Tonus otot
|
Lunglai
|
Fleksi ekstrimitas (lemah)
|
Fleksi kuat gerak aktif
|
Warna kulit
|
Biru pucat
|
Tubuh merah ekstrimitas biru
|
Merah seluruh tubuh
|
Nilai: 0-3 : Asfiksia
berat
Nilai 4-6 : Asfiksia
sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan
pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis,bukan untuk
memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa
gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi
berbagai organ yaitu :
- Otak
: hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
- Jantung dan paru : hipertensi pulmonal
persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
- Gastrointestinal : enterokolitis
nekrotikans
- Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
- Hematologi : DIC
5. Penatalaksanaan Asfiksia
Neonatorum
a. Resusitasi kardio pulmonal
b. Terapi medikamentosa :
1) Epinefrin : Denyut
jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan pemijatan dada. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000
(0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5
menit bila perlu.
2) Bikarbonat, 1-2 mEq/kg
BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%). Diencerkan
dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit.
3) Nalokson: 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Intravena,
endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau
s.c
c. Suportif
· Jaga kehangatan.
· Jaga saluran napas agar tetap bersih dan
terbuka.
· Koreksi gangguan
metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
d. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl
0,9%, Ringer Laktat,
C. Sindrom Gangguan Pernafasan
1. Defenisi Sindrom Gangguan Pernafasan
Sindrom gawat nafas neonatus
merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu
ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi (
Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyakit Membran Hialin (PMH)
2. Etiologi Sindrom Gangguan
Pernafasan
Penyebab kelainan ini adalah
kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH sering
kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak
kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
3. Patofisiologi Sindrom Gangguan Pernafasan
Penyebab PMH adalah surfaktan
paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru
dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak.
Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi
surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan
tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi
yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga
terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
4. Prognosis Sindrom Gangguan Pernafasan
Prognosis bayi dengan PMH
terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh
mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang
tidak menderita PMH.
5. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan
PMH umumnya terjadi pada bayi
prematur dengan berat badan 1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu.
Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala
yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.
6. Pemeriksaan Diaknostik Sindrom Gangguan
Pernafasan
a.
Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan
oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan
pemeriksaan foto thoraks.
b.
Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap,
analisis gas darah dan elektrolit.
7. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan
Tindakan yang perlu dilakukan :
a.
Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus
dalam batas normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
b.
Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena
terpengaruh kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak
menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
c.
Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk
mempertahankan hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan
glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
d.
Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
Penisilin dengan dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg /
kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
e.
Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah
pemberian surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar).
D. Hiperbilirubinemia
1. Definisi Hiperbilirubinemia
Ikterus
adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis,
ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13
mg/dL.
Pada
bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis (Timbul
dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali:
·
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL
atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
·
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
·
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
·
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
·
Terdapat faktor risiko.
Efek
toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin
dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya
tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat
terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap
1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2
(pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap
3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni,
motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan,
kehilangan pendengaran sensorial.
2. Etiologi dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia
a) Etiologi
Peningkatan
kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena hemolisis yang
disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim
glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) ->
penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
·
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya
enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
·
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus
nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
·
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi
Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
·
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran
kemih, infeksi intra uterin.
·
Polisitemia.
·
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma
lahir.
·
Ibu diabetes.
·
Asidosis.
·
Hipoksia/asfiksia.
·
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
b) Faktor Risiko
Faktor risiko untuk
timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia,
Native American,Yunani)
·
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
·
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
·
ASI
b. Faktor
Perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
·
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
·
Faktor genetik
·
Polisitemia
·
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol,
sulfisoxazol)
·
Rendahnya asupan ASI
·
Hipoglikemia
·
Hipoalbuminemia
3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Bilirubin
pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah
itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
a. Ikterus fisiologis
Secara
umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun
kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus
fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar
bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan
dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah
lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan
bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola
ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor
lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum
yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang
sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak
bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan
pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan
bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi
80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar
yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus pada bayi
mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada
sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI
yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan
faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan
frekuensi ditambah.
Apabila
keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus
meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
4. Penegakan Diagnosis Hiperbilirubinemia
a. Visual
Metode
visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit
berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih
boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera
dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO
dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
·
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di
siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah
bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan
yang kurang.
·
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan
bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta
untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel
serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin
direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2
minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer
adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan
bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang
dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan
bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen
kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral
reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan
dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe
dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui
akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di
Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada
penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum
>14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB
dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat
digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB
dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya
pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil
analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa
pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan
skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah
terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
d. Pemeriksaan
bilirubin bebas dan CO
Bilirubin
bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum
yang rendah.
Beberapa
metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan
reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi
tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus
neonatorum akan lebih terarah.
Seperti
telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi
bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan
Ikterus
Usia
|
Kuning terlihat
pada
|
Tingkat
keparahan ikterus
|
Hari 1
Hari 2
Hari 3
|
Bagian tubuh
manapun
Tengan dan tungkai * Tangan dan kaki |
Berat
|
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari
pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua,
maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar
secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk
memulai terapi sinar.
5. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologis
Bayi
sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang
sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
·
Minum ASI dini dan sering
·
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
·
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan
ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin
serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis
dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
·
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat
lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau
sepsis
·
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan
hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
·
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya
terapi sinar, hentikan terapi sinar.
·
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai
dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
·
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan
penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan
uji saring G6PD bila memungkinkan.
·
Tentukan diagnosis banding
b. Tata laksana Hiperbilirubinemia
1) Hemolitik
Paling
sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO
antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk
keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila nilai
bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
·
Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
·
Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi
tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs
positif, segera rujuk bayi.
·
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah
terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
·
Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
·
Persiapkan transfer.
·
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan
fasilitas transfusi tukar.
·
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
·
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning,
mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
·
Nasihati ibu:
·
Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus,
pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena
berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
·
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu
untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada
bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,
kamfer/mothballs, favabeans).
·
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan
transfusi darah.
·
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi
cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg
atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan
(prolonged jaundice).
·
Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin
setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit <
24%), berikan transfusi darah.
2) Ikterus Berkepanjangan
(Prolonged Jaundice)
Diagnosis ditegakkan apabila
ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada
neonatus kurang bulan.
·
Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari penyebab.
·
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap,
persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus
untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
·
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis
kongenital.
6. Pencegahan Hiperbilirubinemia
Perlu
dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas
ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
a. Primer
AAP
merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup
bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan
bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya
asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan
dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat
menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus.
Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang
baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b. Sekunder
Dokter
harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko
tinggi ikterus neonatorum.
1) Pemeriksaan
Golongan Darah
Semua
wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani
pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu
adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika
darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
2) Penilaian
Klinis
Dokter
harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi
terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata
laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam
bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada
bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam
ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian
ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki
angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah,
kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
E. Pendarahan Tali
Pusat
1. Pengertian
Pendarahan Tali Pusat
Perdarahan
yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan
tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal.
Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi.
2. Etiologi Pendarahan
Tali Pusat
1) Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a. Patus precipitates
b. Adanya trauma atau
lilitan tali pusat
c. Umbilikus pendek,
sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat persalinan
d. Kelalaian penolong
persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea
2) Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a. Adanya hematoma pada
umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat
berbahaya bagi bayi dan dapat menimbulkan
kematian pada bayi
b. Varises juga dapat
menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c. Aneurisma pembuluh
darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan
atau terjadi kemunduran dinding pembuluh
darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.
3) Robekan pembuluh darah abnormal
Pada kasus
dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik
pembuluh darah seperti :
a.
Pembuluh darah aberan yang mudah pecah
karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jely Wharton
b.
Insersi velamentosa tali pusat, dimana
pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta
tidak adda proteksi. Umbilikus dengan
kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c. Placenta multilobularis, perdarahan terjadi
pembuluh darah yang menghubungkan masing- masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat
rapuh dan mudah pecah
4) Perdarahan akibat placenta
previa dan abrotio placenta
Perdarahan
akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia,
sedangkan pada kasus abrutio placenta
lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi
anoreksia.
Pengamatan
pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan
placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
3.
Penatalaksanaan Pendarahan Tali
Pusat
a.
Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari
perdarahan tali pusat yang terjadi
b.
Untuk penanganan awal, harus dilakukan
tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.
c.
Segera lakukan inform consent dan inform
choise pada keluarga pasien untuk dilakukan rujukan.
F. Konsep Dasar Hipotermia
1. Definisi Hipotermia
Beberapa
definisi hipotermia dari beberapa sumber :
a.
Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi dengan suhu badan dibawah
normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah 36,5o-37,5oC.
Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua
kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin
maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36o C).
Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan
termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C.
b.
Menurut Indarso
F(2001), disamping sebagai suatu gejala,hipotermia merupakan awal penyakit
yang berakhir dengan kematian.
c.
Menurut Sandra M.T (1997),hipotermi
yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti turun sampai dibawah 35o C.
2. Klasifikasi Hipotermia
a. Hipotermi spintas.
Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c
sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali setelah bayi berumur 4-8
jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya. Hipotermi sepintas ini terdapat
pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama, ruangan tempat bersalin yang
dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir terlalucepat di mandikan (kurang
dari 4 -6 jam sesudah lahir).
b. Hipotermi akut.
Terjadi bila bayi berada di
lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat pada bayi dengan BBLR, diruang
tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup panas. Terapinya adalah:
segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang suhunya sudah menurut
kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di awasi secara teliti.
Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat serta kedu kaki
dingin.
c. Hipotermi sekunder
Penurunan suhu tubuh yang tidak di
sebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti
sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit jantung bawaan yang berat,hipoksia
dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan mengobati penyebab Misalnya: pemberian
antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan sebagainya.
d. Cold injuri
Yaitu hipotermi yang timbul karena
terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum,
badan dingin, oligoria , suhu berkisar sekitar 29,5◦c-35◦c, tidak banyak
bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan, kaki dan muka, seolah-olah dalam
keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.
3. Etiologi Hipotermi
Penyebab
terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :
a.
Jaringan lemak subkutan tipis.
b.
Perbandingan luas permukaan tubuh
dengan berat badan besar.
c.
Cadangan glikogen dan brown fat
sedikit.
d.
ayi baru lahir tidak ada respon
shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan.
e.
Kurangnya pengetahuan perawat dalam
pengelolaan bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia.
f.
Bayi dipisahkan dari ibunya segera
mungkin setelah lahir.
g.
Berat lahir bayi yang kurang dan
kehamilan prematur.
h.
Tempat melahirkan yang dingin.
i.
Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi
yang lama, sepsis, sindrom dengan pernapasan, hipoglikemia
perdarahan intra kranial.
Faktor
pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992 :
a.
Faktor lingkungan.
b.
Syok.
c.
Infeksi.
d.
Gangguan endokrin metabolik.
e.
Kurang gizi
f.
Obat-obatan.
g.
Aneka cuaca
Mekanisme hilangnya panas pada bayi
yaitu :
a.
Radiasi adalah panas yang hilang
dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang dingin. Misal BBL diletakkan
ditempat yang dingin.
b.
Konduksi adalah pindahnya panas
tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung
diganti.
c.
Konveksi adalah hilangnya panas dari
bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL diletakkan dekat pintu atau jendela
terbuka.
d.
Evaporasi adalah hilangnya panas
akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya cairan amnion pada bayi
4. Patofisiologi Hipotermi
Sewaktu
kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur
panas di hipothalamus. Saraf yang
dari hipothalamus sewaktu mencapaib rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga
trigliserida dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak secara
lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi
panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah.
Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan
oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga
tubuh tetap hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas
dari sistem syaraf sentral,kecukupan darib r
own fat, dan tersedianya
glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada
sistem syaraf pusat antara lain depresi linier dari metabolisme otak,
amnesia, apatis, disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi yang
salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi
pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan
autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang
hilang, dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG.
Bayi
hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal pada bayi
neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama
dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang
dari 36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.
5. Tanda
dan Gejala Hipotermi
a. Berikut beberapa gejala bayi terkena hipotermia,yaitu :
1)
Suhu tubuh bayi turun dari
normalnya.
2)
Bayi tidak mau minum atau menetek.
3)
Bayi tampak lesu atau mengantuk
saja.
4)
Tubub bayi teraba dingin.
5)
Dalam keadaan berat denyut jantung
bayi menurun dan kulit tubuh mengeras (sklerema).
6)
Kulit bayi berwarna merah muda dan
terlihat sehat.
7)
Lebih diam dari biasanya.
8)
Hilang kesadaran.
9)
Pernapasannya cepat.
10)
Denyut nadinya melemah.
11)
Gangguan penglihatan.
12)
Pupil mata melebar (dilatasi) dan
tidak bereaksi.
b. Berikut
adalah tanda terjadinya hipotermia
Tanda-tanda
hipotermia sedang :
1)
Aktifitas berkurang.
2)
Tangisan lemah.
3)
Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata).
4)
Kemampuan menghisap lemah.
5)
Kaki teraba dingin.
6)
Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin.
c. Tanda-tanda
hipotermia berat :
1)
Aktifitas berkurang,letargis.
2)
Bibir dan kuku kebiruan.
3)
Pernafasan lambat.
4)
Bunyi jantung lambat.
5)
Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan
asidosis metabolik.
6)
Risiko untuk kematian bayi.
d. Tanda-tanda
stadium lanjut hipotermia :
1)
Muka,ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
2)
Bagian tubuh lainnya pucat.
3)
Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung,kaki
dan tangan(sklerema).
6. Komplikasi
Hipotermi yang terjadi pada bayi
apabila tidak tertangani dengan tepat akan menyebabkan beberapa gangguan yang
akan menyertai yakni:
a.
Gangguan sistem saraf pusat:
koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
b.
Cardiovascular: penurunan tekanan
darah secara berangsur, menghilangnya tekanan darah sistolik
c.
Pernafasan: menurunnya konsumsi
oksigen
d.
Saraf dan otot: tidak adanya
gerakan, menghilangnya reflex perifer
7. Penatalaksanaan
a. Penanganan
hipotermia secara umum untuk bayi
Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah
terkendali dengan baik. Bayi bisa kehilangan suhu tubuh secara cepat dan
terkena hipotermi dalam kamar yang dingin. Bayi yang mengalami hipotermi harus
dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa cara penanganan hipotermia untuk
bayi :
1)
Hangatkan bayi secara bertahap.
Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah tubuhnya dengan selimut tebal.
2)
Pakaikan topi dan dekaplah si kecil
agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.
b. Beberapa
hal yang harus diperhatikan antara lain :
1)
Jangan menempelkan sumber panas
langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit anak. Anak harus menjadi
hangat secara bertahap.
2)
Jika anak hilang kesadaran,bukalah
saluran udaranya dan periksa pernapasannya. Jika anak bernapas,baringkan ia
pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah bantuan pernapasan dan
kompresi dada. Telepon Ambulans.
c. Prinsip Dasar Untuk Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir
1)
setiap bayi lahir harus segera
dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut
dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan
cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk yang basah harus
diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
2)
Setelah tubuh bayi kering segera
dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos tangan dan kaki.
Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan
kehangatan dari dekapan ibu.
3)
Memberi ASI sedini mungkin segera
setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks dan
bayi mendapat kalori.
4)
Mempertahankan bayi tetap hangat
selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
5)
Memberikan penghangatan pada
bayi baru lahir secara mandiri.
6)
Melatih semua orang yang terlibat
dalam pertolongan persalinan.
7)
Menunda memandikan bayi baru lahir
sampai suhu tubuh bayi stabil.
G. Hipertermi
1. Pengertian Hipertermi
Hipertermia adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus
menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan
kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal (blogAsuhanKeperawatan.com).
Hipertermia adalah suhu tubuh yang
tinggi dan bukan disebabkan oleh mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan
keperawatan.com.I Ziddu.com)
2. Etiologi Hipertermi
Disebabkan oleh meningkatnya
produksi panas andogen (olahraga berat, Hipertermia maligna, Sindrom
neuroleptik maligna, Hipertiroiddisme), Pengurangan kehilangan panas, atau
terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas)
3. Gejala Hipertermi
1) Suhu
badan tinggi (>37,5°C)
2) Terasa
kehausan.
3) Mulut
kering
4) Kedinginan,lemas
5) Anoreksia
(tidak selera makan)
6) Nadi
cepat.
7) Pernafasan
cepat (>60X/menit)
8) Berat
badan bayi menurun
9) Turgor
kulit kurang
a. Bila suhu diduga karena paparan panas
berlebihan:
·
Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk
dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C
·
Tubuh bayi diseka dengan kain basah
sampai suhu tubuh bayi normal (jangan menggunakan air es).
·
Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4
secara intravena sampai dehidrasi teratasi
·
Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
·
Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator,
buka incubator sampai suhu dalam batas normal
·
Lepas sebagian atau seluruh pakaian
bayi selama 10 menit kemudian
·
Beri pakaian lagi sesuai dengan alat
penghangat yang digunakan
·
Periksa suhu bayi setiap jam sampai
tercapai suhu dalam batar normal
·
Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan
sesuaikan pengatur suhu
c. Manajemen
lanjutan suhu lebih 37,5°C
1) Yakin bayi mendapatkan masukan cukup cairan
a) Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi
tidak dapat menyusui, beri ASI panas dengan salah satu alternative cara
pemberian minum
b) Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani
dehidrasinya
2) Setelah
suhu bayi normal:
a) Lakukan perawatan lanjutan
b) Pantau
bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam
3) Bila
suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak
ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan, nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari
pancaran panas yang berlebihan
1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat
menyusu, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan
alternative
2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau
fontanel cekung, kehilangan elastisitas kulit, atau lidah atau membran mukosa
kering)
a) Pasang
slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia bayi
b) Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat
badan bayi pada hari pertama dehidrasi terlihat
e. Ukur glukosa darah, jika glukosa darah
kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi glukosa darah yang rendah.
H. Tetanus Neonaturum
1.
Pengertian Tetanus Neonaturum
Kata
tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus yang berarti kencang
atau tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik
paralisis yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Tetanus berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk,
yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk
tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus generalisasi dan
jugamerupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya Neonatal (berasal
dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti
lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan
masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan
suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.
Tetanus
Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus).
Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan
karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa
neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan
tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Tetanus
neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan
oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) yang
menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)
Tetanus
Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium
Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang
kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari,
kriteria kasus TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan,
dapat terjadi sejak umur 3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S,
1995).
Tetanus
neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah namun dapat
berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari kuman Clostridium
tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan toksin
yang dapat menyerang sistem syaraf pusat.
2.
Etiologi Tetanus Neonaturum
Penyebabnya
adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob,
berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang
dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin
yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Masa
inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada
tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus
Neonatorum. (Sudarjat S, 1995).
3.
Faktor Resiko Tetanus Neonaturum
a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan,
atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
b) Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.
c) Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.
4.
Epidemiologi Tetanus Neonaturum
Clostridium
tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak
dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang
(drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan
yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan
dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan
tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah,
air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
5.
Patologi Tetanus Neonaturum
Kelainan
patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang, dan terutama
pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus laring
pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh
langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain
ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin
sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
6.
Gambaran Klinik Tetanus Neonaturum
Masa
tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika infeksinya
ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi
nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Pada
tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat. Anamnesis
sangat spesifik yaitu :
a.
Bayi tiba-tiba panas dan tidak
mau minum (karena tidak dapat menghisap).
b.
Mulut mencucu seperti mulut
ikan.
c.
Mudah terangsang dan sering
kejang disertai sianosis.
d.
Kaku kuduk sampai opistotonus.
e.
Dinding abdomen kaku, mengeras
dan kadang-kadang terjadi kejang.
f.
Dahi berkerut, alis mata
terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus sardonikus
g.
Ekstermitas biasanya terulur
dan kaku.
h.
Tiba-tiba bayi sensitif
terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis lemah.
7.
Pencegahan Tetanus Neonaturum
a. Melaui pertolongan persalinan tiga
bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih alat .
1) Bersih tangan
Sebelum menolong persalinan, tangan
poenolong disikat dan dicuci dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku
dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci
tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan pelindung merupakan kunci
untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.
2)
Bersih alas
Tempat atau alas yang dipakai untuk
persaliunan harus bersih, karena clostrodium tetani bisa menular dari saluran
genetal ibu pada waktu kelahiran..
3)
Bersih alat
Pemotongan tali pusat harus menggunakan
alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan
kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua menggunakan otoklaf
: 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika
alat tidak dibungkus.
b.
Perawatan tali pusat yang baik
Untuk perawatan tali pusat baik
sebelum maupun setelah lepas, cara yang murah dan baik yaitu mernggunakan
alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang telah dibasahi dengan alkohol
dibungkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi
dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres alkohol
ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 – 5 hari).
Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena
akan terjadi infeksi.
c.
Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil
Kekebalan terhadap tetanus
hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan
imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri,
antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta,
masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan
mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil
diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta
jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi
tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan
kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus
dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan
mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan
antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
TT adalah antigen yang sangat
aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu
hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT
tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka
yang tidak mendapatkan imunisasi .
8.
Penatalaksanaan Tetanus Neonaturum
1.
Mengatasi kejang
Kejang dapat diatasi dengan mengurangi
rangsangan atau pemberian obat anti kejang. Obat yang dapat dipakai adalah
kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30
– 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan per os dengan dosis maksimum 10 mg per
hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral,
kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain
adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg BB. Obat anti kejang yang
lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat rektum.
2.
Pemberian antitoksin
Untuk mengikat toksin yang masih bebas
dapat diberi A.T.S (antitetanus serum) dengan dosis 10.000 satuan setiap hari
serlama 2 hari .
3.
Pemberian antibiotika
Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan
penisilin 200.000 satuan setiap hari dan diteruskan sampai 3 hari panas turun.
4.
Perawatan Tali pusat
Tali pusat dibersihkan atau di kompres
dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.
5.
Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah
bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul
adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot
pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot
faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan
terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi
kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap
kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
a.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah
bahunya.
b.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2
L/menit jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan
lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c.
Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang
dan memudahkan penghisapan lendirnya.
d.
Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan
pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
e.
Observasi tanda vital setiap ½ jam .
f.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam
keadaan hangat.
g.
Jika bayi menderita apnea :
a) Hisap lendirnya sampai bersih
b) O2 diberikan lebih besar (dapat
sampai 4 L/ menit)
Letakkan bayi di atas tempat
tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di
tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 – 6
x/menit.
Bila belum berhasil cabutlah
sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian
secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.
6.
Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan
payah, untuk memenuhi kebutuhan makananya perlu diberikan infus dengan cairan
glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan
bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik,
kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan
selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara
bertahap.
7.
Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit
Kedua orang tua pasien yang bayinya
menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat,
maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini
tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan
hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya
di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya mikrodruip).
Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar meminta
suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan
persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran
Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.
I. Hipoglikemia
1. Pengertian
Hipoglikemia
Hipoglikemia
adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal
rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara
bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa
darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau
ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus
umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi
glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa
darah yang menurun.
Hipoglikemia
(hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah berkurangnya secara
abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat dan sakit kepala apabila
kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf pusat
(KamusKedokteran Dorland:2000).
Hipoglikemia neonatorum adalah masalah pada
bayi dengan kadarglukosa darah kurang dari 40 -45mg/dl (Sudarti &
Khoerunnisa,Endang : 2010)
Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi
di bawah kadar rata-rata bayi seusia & berat badan aterm (2500 gr atau
lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl pada hari berikutnya.
Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum
untuk diagnosis Hipoglikemia pada berbagai kelompok umur anak :
Kelompok Umur
|
Glokuse <mg/dl
|
Darah Plasma/serum
|
Bayi/anak
Neonatus
* BBLR/KMK
* BCB
0 - 3 hr
3 hr
|
<40 mg/100 ml
<20 mg/100 ml
<30 mg/100 ml
<40 mg/100 ml
|
<45 mg/100 ml
<25 mg/100 ml
<35 mg/100 ml
<45 mg/100 ml
|
Hipoglikemia pada neonates :
a.
Untuk setiap neonatus manapun,
kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal
b.
Menurut WHO hipoglikemi adalah
bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL
c.
Gejala sering tidak jelas/asimptomatik,
semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai kemungkinan adanya hipoglikemia
d.
Diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius
2. Frekuensi Hipoglikemia
Di
Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi
baru lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir
dari ibu diabetes 8%-25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko
tinggi 30% terjadi hipoglikemia.
Frekuensi
hipoglikemia pada bayi/neonates belum diketahui pasti.Namun di amerika
dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutberlet dan Cornblath
melaporkan frekuensi hipoglikemia 4,4 per 1000 BBLR. Hanya 200-240 penderita
hipoglikemia persisten maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk rumah
sakit.Angka ini berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 23
per 1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat berjumlah
80.000 pertahun.
3. Etiologi Hipoglikemia
Hipoglikemia
dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control pada metabolism
glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan keseimbangan
endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.
Hipoglikemia biasanya
terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki cadangan glukosa yang
rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab lainnya adalah:
1. Prematuritas
2. Post-maturitas
3. Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi
berada dalam kandungan.
Hipoglikemia juga bisa terjadi
pada bayi yang memiliki kadar insulin tinggi.Bayi yang ibunya menderita
diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang tinggi karena ibunya memiliki
kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula darah ini melewati plasenta
dan sampai ke janin selama masa kehamilan. Akibatnya, janin menghasilkan
sejumlah besar insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan pada bayi yang
menderita penyakit hemolitik berat.
Kadar insulin yang tinggi
menyebabkan kadar gula darah menurun dengan cepat pada jam-jam pertama
kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula dari plasenta secara
tiba-tiba terhenti.
Hipoglikemia pada neonates biasa
disebabkan oleh penyebab-penyebab di atas, namun bila hipoglikemia neonates
tadi berulang/menetap, dapat dipikirkan penyebab sebagai berikut :
1) Hormon Excess-hyperinsulinsm
a. Exomphalos, macroglossia,
gigantism syndrome of beckwith wiedemann
b. “infant giants”
c. Kelainan patologik sel
beta
2) Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan
defisiensi hormone multipel
3) Defek metabolism
karbohidrat heriditer
4) Defek metabolism asam amino herediter
Factor
resiko :
1. Hipoglikemi
sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa rendah.
2. Bayi yang besar untuk masa
kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi
glukosa yang abnormal.
3. Bayi
premature atau lebih bulan.
4. BBLR
yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak
tubuh.
5. Bayi sakit berat karena
meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan kalori
6. Neonates yang sakit atau stress
(sindrom gawat nafas,hipotermi)
7. Bayi
dengan polisemia
8. Bayi
yang dipuasakn
9. Bayi
dengan kelainan genetic/gangguan metabolic (penyakit cadangan glycogen,
intoleransi glukosa).
10. Obat-obat maternal misalnya
steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker.
11. Pada ibu diabetes mellitus (DM)
terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respons insulin
juga meningkat pada janin.
4. Manifestasi
Klinis Hipoglikemia
Hipoglikemia
walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan merupakan problem bagi
dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :
Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk
membuat diagnosis tergantung pada indeks kepekaan yang tinggi.
Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan
kompleks.
Pada
bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula darah
kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan merangsang
pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah, elisah,
keringat dingin, gemetar dan takikardi.
Gejala
hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu : berasal
dari system syaraf autonomy dan berhubungan dengan kurangnya suplay glukosa
pada otak (neuroglikopenia). Gejala akibat dari system syaraf autonomy adalam
berkeringat,gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pening,
bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat
konsentrasi.Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan
lemah.Pada neonates tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea
dan sianosis, hipotonia, iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada
tinggi, nafas cepat dan pucat.Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang
tidak hipoglikemia, missal kelainan bawaan pada susunan syaraf pusat, cedera
lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernicterus. Demikian juga dapat terjadi
akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress
respirasi, asfiksia, anomaly kongenital multiple atau defisiensi endokrin.
Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada “glycogen storage disease
type I”.
1) Neonatus
Hipoglikemia
simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam kehidupan. Sering
menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat pemberian
ASI dan bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin. Juga
termasuk dalam golongan ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu
menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM
mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam kehidupan, kebanyakan tidak
memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya. Umumnya sembuh
spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa di
antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300
mikrogram atau 0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.
Hipoglikemia
neonates simtomatik gejalanya tidak khas, misalnya : apati, anoreksia,
hipotoni, apneu, sianosis, pernapasan tidak teratur, kesadaran menurun, tremor,
kejang tonik/klonik, menangis tidak normal dan cengeng. Kebanyakan gejala
pertama timbul sesudah 24 - 48 jam kehidupan.
2) Bayi/Anak
Gejala-gejala
dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric tidak
terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng,
ataksia, strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan
tingkah laku.
Hipoglikemia
bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan takikardi.Serangan ulang
gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu setiap hari,
sehingga kita harus waspada terhadap kemungkinan hipoglikemia.Pemeriksaan
glucose darah pada saat timbulnya gejala sangat penting.
Kasus
bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu diterapkan
dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko, gejala
yang seringkali muncul :
a. Tremor
b. Sianosis
c. Apatis
d. Kejang
e. Apnea intermitten
f. Tangisan lemah/melengking
g. Letargi
h. Kesulitan minum
i. Gerakan mata
berputar/nistagmus
j. Keringat dingin
k. Pucat
l. Hipotermi
m. Refleks hisap kurang
n. Muntah
5. Patofisilogi
Hipoglikemia
Batasan dikatakan
neonates mengalami hipoglikemia:
1. Timbul
bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai usia
pasca lahir
2. Bayi atterm BB 2500 gr : gula
darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl
3. BBLR : GD <25 mg/dl
Setiap stress yang terjadi mengurangi
cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa,
misalnya pada asfiksia, hipotermi, gangguan pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih
besar dibandingkan bayi lain.
Pada asfiksia,
akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai persediaan glukosa.
Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada
keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
6. Diagnosis Hipoglikemia
Untuk
mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan pengobatan tepat
waktu untuk hipoglikemia adalah sangat penting.Pemantauan glukosa di tempat
tidur adalah tindakan tepat untuk penapisan dan deteksi awal.Hipoglikemia harus
dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium jika memungkinkan, dan juga
dengan anamnesis, antara lain :
a.
Riwayat
bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan
b.
Riwayat
bayi prematur
c.
Riwayat
bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d.
Riwayat
bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e.
Riwayat
bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f.
Riwayat
bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g.
Bayi
yang beresiko terkena hipoglikemia
- Bayi dari ibu diabetes (IDM)
- Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
- Bayi yang kecil
untuk masa kehamilan (SGA)
- Bayi prematur dan lewat bulan
- Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
- Bayi puasa
- Bayi dengan polisitemia
- Bayi dengan eritroblastosis
- Obat-obat yang
dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia
secara benar harus dipenuhi trias whipple’s yaitu :
a. Manifestasi klinis yang khas
b. Kejadian
ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara
akurat dengan metode yang peka dan tepat
c. Gejala
klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
normoglikemia.
Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis
hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi.
1) Pemeriksaan
laboratorium :
a. Kadar glukosa serum
·
Diperiksa
dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36,
dan 48 jam
·
Pengukuran
<45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran serum glukosa
b. Kadar serum kalsium
·
Pada
usia 6, 24 dan 48 jam
·
Jika
kadar serum kalsium rendah, kadar serum magnesium harus diukur
c. Hematokrit
Pada saat lahir dan pada usia 24 jam
d. Kadar serum bilirubin
Sesuai indikasi pemeriksaan fisis
e. Tes
lain
·
Kadar
gas darah arteri
·
Hitungan
sel darah lengkap (CBC), kultur dan pewarnaan gram dilakukan sesuai indikasi
klinis
2. Pemeriksaan radiologi
Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung,
pernafasan atau kerangka
3. Electrocardiography
dan echocardiography
Jika dicurigai adanya hypertropic
cardiomyopathy atau malformasi jantung
7. Penatalaksanaan
Hipoglikemia
1) Memantau kadar glukosa darah
Semua
neonatus berisiko tinggi harus ditapis :
a. Pada saat lahir
b. 30 menit setelah lahir
c. Kemudian setiap 2-4 jam
selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik dan kadar glukosa
normal tercapai
2) Pencegahan
hipoglikemia
a. Menghindari
faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia
b. Pemberian makan enteral
merupakan tindakan preventif tunggal paling penting
c. Jika bayi tidak mungkin
menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam
setelah lahir
d. Neonatus
yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya penuh dan
3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL
e. Jika ini gagal, terapi
intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau
3) Perawatan
hipoglikemia
a. Koreksi
segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan diberikan
melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan
b. Infus
tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus
dimulai
c. Kecepatan
infus glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :
GIR
(mg/kg/min) = kecepatan cairan (cc/jam) x konsenterasi dextrose(%)
6x
berat (Kg) e
d. Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan
untuk memastikan bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai
e. Ketika pemberian makan telah
dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di tempat tidur (bed side) sudah
normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap. Tindakan ini mungkin
memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari kambuhnya hipoglikemia
5) Hipoglikemia
refraktori
Kebutuhan
glukosa >12 mg/kg/menit menunjukan adanya hiperinsulinisme. Keadaan ini
dapat diperbaiki dengan :
a. Hidrokortison
5 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam
b. Glukagon
200 ug IV (segera atau infus berkesinambungan 10 ug/kg/jam)
c. Diazoxide
10 mg/kg/hari setiap 8 jam menghambat sekresi insulin pancreas
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi berat
badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram
pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961). BBLR dibedakan menjadi
Prematuritas murni dan Retardasi.
Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di
dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat)
dan asidosis. Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin
dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan
fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian
asfiksia
Sindrom
gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau
hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis,
merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada
saat inspirasi.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning
pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi
bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar
bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Perdarahan
yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan
tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal.
Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi.
Menurut
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah bayi
dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus
adalah 36,5o-37,5oC. Gejala awal pada
hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka
bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36o C).
Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan
termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C
Hipertermia adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus
menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan
kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah
(glukosa) secara abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila
kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan
hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus
tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya
hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh
karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma
masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
B. Saran
Resum
kondisi bayi pasca persalinan harus dilakukan dengan baik. Ketidak akuratan
dalam proses pengkajian dapat menyebabkan tidak diketahuinya kelainan dan
resiko kelainan pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham,
F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.
Doengoes,
Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauziah,
Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan
Anak.Yogyakarta: Nuha Medika
Hanifa
Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjio,
Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.
Rukiyah
dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: Trans Info Media
Sarwono
Prawiroharjo. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono.
2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina.
Staf
Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Infomedika
Sudarti.2010.
Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha Medika.
Supartini,
Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo :
Jakarta.
Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo :
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar